Film The Professor And The Madman dan Sebuah Retrospeksi Tentang Kata-kata

Beberapa waktu lalu, kita disuguhi oleh sebuah film bergenre biografi bernuansa sastra yang dapat dikatakan cukup berani. Ia hadir dan menantang hegemoni film-film bergenre action dan superhero yang mendominasi industri perfilman dalam beberapa tahun belakangan ini. Film The Professor and The Madman ini bisa dianggap sebagai sebuah kesegaran tersendiri. Sedangkan di sisi lain juga bisa dipandang sebagai suatu bentuk “upaya yang sia-sia”.

Cerita dalam film The Professor and The Madman ini  berjalan mengalun selayaknya film biografi pada umumnya. Film yang bernuansa sastra ini secara garis besar menceritakan tentang kisah terciptanya kamus Oxford English Dictionary. Sir James Murray dan William Chester Minor adalah kontributor terpenting  dalam pembuatan kamus tersebut. Secara kualitas, film ini sebenarnya tidak perlu lagi diragukan. Apalagi film ini dihiasi oleh deretan nama-nama aktor mentereng, mulai dari Mel Gibson, Sean Penn, hingga Natalie Dormer. Namun di sisi lain, ada hal unik yang membuat film ini menjadi istimewa.
Di luar jalinan cerita, teknis penyampaian dan alur yang menarik. Film The Professor and The Madman seolah mengajak kita untuk merenungi kembali tentang persoalan sejarah, sastra, budaya dan peradaban kita melalui kata-kata, sastra dan bahasa. Tentu saja segala hal telah banyak berubah. Sejak pertama kali kita mengenal bahasa hingga bagaimana hari ini kita menggunakan bahasa tersebut. Dilihat dari berbagai sisi, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa bahasa adalah salah satu parameter bergesernya peradaban di suatu bangsa.film sastra
Melihat suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari kata-kata sebagai elemen paling dasar yang membentuknya. Jika kita mau melihat lebih dalam, sebuah kata ajaibnya memiliki makna yang tidak sederhana atau tidak mudah untuk dijelaskan. Walaupun sebenarnya kita “merasa” mengerti dengan pasti apa makna dari suatu kata itu. Kita ambil contoh kata “langit”. Secara harfiah, kita merasa mengerti apa itu “langit”. Dan kita dapat menunjuknya dengan pasti pada benda yang kita pahami sebagai “langit”. Tetapi jika harus menjelaskan apa itu “langit” secara definitif, maka tidak sedikit orang rasanya yang akan kesulitan untuk menjelaskannya.
Keajaiban kata-kata ternyata tidak hanya berhenti di situ. Untuk sampai pada makna yang kita pahami sekarang, ternyata kata-kata melalui perjalanan yang cukup panjang.
Dari film The Professor and The Madman, kita bisa melihat bagaimana Sir James Murray menetapkan standar keabsahan dari suatu kata yang dapat dicantumkan di kamus. Kata tersebut layak dicantumkan dalam kamus jika ia muncul pada kurang lebih tiga hingga empat abad sebelumnya. Makna atau anatomi sebuah kata pun tidak muncul begitu saja. Sebuah kata yang kita gunakan hari ini, sangat mungkin berasal dari kata dengan makna sejenis pada rumpun-rumpun bahasa purba yang digunakan di peradaban-peradaban kuno.
Perjalanan sejarah dari kata-kata itulah yang kelak menjadi syarat dari sah atau tidaknya kata-kata itu untuk dicantumkan di dalam kamus. Setidaknya itulah yang tergambar dalam film The Professor and The Madman. Bagian lain yang menarik dari film ini adalah pada saat akhir di mana, Sir James Murray ditunjukkan pada fenomena munculnya kata-kata baru, sebagai bentuk eskpresi berkomunikasi. Di sana, pada akhirnya disimpulkan bahwa proses dokumentasi kata-kata dalam bentuk kamus, bukanlah pekerjaan satu generasi saja, tetapi butuh setiap generasi untuk terus mengerjakannya, mendokumentasikan kata-kata yang merepresentasikan zamannya.
Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Apa yang terjadi?
Pada dasarnya bahasa Indonesia juga mengalami hal yang sama yang dengan dialami oleh bahasa-bahasa lainnya di berbagai bangsa. Hari ini, ada beberapa kata yang mengalami pergeseran makna, dan tidak sedikit yang mengalami degenerasi, “dimuseumkan” dan hanya tergeletak begitu saja di halaman-halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanpa pernah digunakan lagi dan tanpa pernah ada lagi yang tahu maknanya. Di sisi yang lain, kata-kata baru muncul baik itu dari bahasa asing yang kelak menjadi kata-kata serapan maupun kata-kata “slank” yang nantinya menjelma menjadi kata-kata yang umum dan praktis.
Kata-kata seperti “renjana,” “saujana,” atau “rinjani” misalnya, sekarang ini atau beberapa tahun lagi mungkin akan punah, tergantikan oleh kata-kata semacam “mukbang,” “mabar,” atau “takis.” Hal seperti ini memang tak dapat dihindari, itulah pergeseran zaman, atau bisa dimaknai sebagai sebuah perjalanan menuju peradaban baru, yang tak pernah kita tahu apakah akan lebih baik atau buruk dibanding peradaban sebelumnya.
Meskipun akan terancam punah, setidaknya kata-kata semacam “renjana,” saujana,” atau “rinjani,” dengan makna-maknanya yang indah, adalah tanda bahwa bangsa kita pernah melalui peradaban yang indah, yang dihiasi oleh ratusan bahkan ribuan kata-kata bermakna indah pula.
Puluhan atau ratusan tahun mendatang kita tidak pernah tahu, bagaimana generasi di masa depan akan mengidentifikasi peradaban kita di masa kini dengan kata-kata. Apakah melalui kata-kata semacam “mukbang,” “mabar” dan ”takis” atau dengan kata-kata lainnya? Atau bahkan mungkin tak ada kata-kata yang dapat mengidentifikasi peradaban kita hari ini sebagai sebuah bangsa yang besar, karena kita tidak pernah mewarisi apa-apa. karena kita tak lagi mau berkata-kata yang layak dan indah untuk diwariskan di masa mendatang.
Panji Firman
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya