Sore itu kota Bandung tampak lebih cerah dari hari-hari biasanya. Tak sedikitpun awan hitam tampak menodai birunya langit ibukota Jawa Barat tersebut. Matahari tampak ramah dan hangat membuat suasana pada sore itu sangat sayang untuk dilewatkan. Saya pun bergegas menyalakan sepeda motor dengan maksud ingin menikmati sore hari yang hangat di kota Bandung. Saya melaju bebas perlahan, tanpa tujuan. Memandang ke sekeliling, menikmati Bandung di bawah siraman hangat sinar mentari.
Akhirnya saya sampai pada fly over Pasupati, dari atas fly over yang merupakan salah satu jalan layang terbesar di kota Bandung terlihat kepadatan rumah-rumah penduduk. Padat, tak berpola dan kusam, setidaknya itulah impresi yang selalu muncul berkali-kali dalam benak saya ketika sedang melintas di atas Pasupati. Sangat miris rasanya melihat kondisi ini, mengingat Bandung adalah salah satu kota pencetak sarjana-sarjana Planologi. Tak lama berkutat dengan impresi buruk tersebut, saya meneruskan perjalanan dengan mengambil jalur menuju arah Tamansari, Dago dan sekitarnya.
Ketika sampai pada ujung jalur yang saya ambil, ada hal yang cukup menarik perhatian saya. Sembari menunggu lampu hijau menyala pada traffic light, saya melihat pertunjukkan kecil Topeng Monyet disana. Di pojok kanan lampu merah, di atas trotoar di bawah jembatan, seorang “pawang” mengarahkan monyet-monyet peliharaannya untuk menghibur para pengendara motor dan mobil. Si pawang memainkan alat musik sederhana serupa “saron” dalam perangkat gamelan. Monyet-monyet peliharaannya merespon dengan berbagai tingkah lucu. Terkadang monyet-monyet tersebut memakai topeng buatan dari boneka bekas.
Pertunjukkan Topeng Monyet itu mengingatkan saya pada masa-masa kecil dulu. Topeng Monyet atau Doger Monyet sempat populer pada saat itu. Mereka berkeliling ke kampung-kampung atau ke berbagai daerah pemukiman untuk mementaskannya. Namun yang membuat saya lebih tertarik adalah keberadaan dari monyet-monyet tersebut, mengingat monyet dengan jenis tersebut ternyata hampir selalu dapat ditemui di pelbagai daerah di Nusantara.
Setelah mencari berbagai data dan informasi demi terpuaskannya rasa penasaran, akhirnya saya mendapatkan sedikit informasi tentang monyet yang memiliki nama latin macaques fascicularis ini. Dalam sumber-sumber lain, Macaques fascicularis yang juga ditulis Macaca fascicularis ini merupakan jenis primata yang hidup di daerah tropis. Itulah alasan mengapa kita akan selalu bertemu dengan kera jenis ini di hampir seluruh daerah di Indonesia. Secara Geografis, Makaka ini tersebar dari kawasan Asia Tenggara hingga daratan utama Asia. Makaka banyak ditemukan di Indonesia, terutama di kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan & Jawa) dan Bali, Malaysia, Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, Birma dan India, terutama di pulau Nicobar (Fittinghoff & Lindburg 1980 ; Grooves 2001). Selain itu, Makaka pun ditemukan di pulau Angaur, Palau.
Konon sekitar tahun 1900-an ketika Republik Palau masih dibawah pemerintahan kolonial Jerman, para pekerja tambang yang ditugaskan untuk bekerja di kepulauan Palau tersebut membawa sepasang Makaka dan dipercaya bahwa seluruh populasi Macaques fascicularis yang ada di Republik Palau sekarang merupakan keturunan-keturunan dari sepasang kera generasi pertama tersebut (Poirier & Smith 1974). Macaques fascicularis hidup di kawasan hutan sekunder (hutan yang telah tersentuh oleh tangan-tangan manusia), hutan mangrove, pesisir pantai dan hutan di pinggiran sungai dengan ketinggian kurang lebih 2000 meter di atas permukaan laut (Rowe 1996; Supriatna et al. 1996).
Jika dilihat secara fisik, Macaques fascicularis memiliki bulu yang berwarna abu-abu. Bagian muka dari Makaka ini berwarna merah muda atau pink. Makaka yang berjenis kelamin jantan, memiliki kumis dan janggut yang menutupi wajahnya, sedangkan yang betina hanya memiliki janggut dan bulu-bulu yang menutupi pipi. Makaka yang baru lahir biasanya memiliki bulu berwarna coklat kehitam-hitaman. Namun ketika usia mereka menginjak tiga bulan, mereka akan berganti warna menjadi abu-abu, seperti warna bulu Makaka dewasa.
Pada umumnya Makaka memiliki berat tubuh kurang lebih 4.8 hingga 7 Kg bagi para pejantan dan 3 hingga 4 Kg untuk para kera betina. Makaka memiliki panjang tubuh sekitar 40 hingga 47 cm dengan panjang ekor kurang lebih 50 hingga 60 cm. Salah satu keunikan dari Macaques fascicularis ini adalah panjang ekornya selalu melebihi panjang tubuhnya, maka dari itu, kera ini pun diberi nama “kera ekor panjang”. Jika ditinjau dari tingkah lakunya, Makaka ini hidup secara berkelompok. Dalam sebuah habitat, kera-kera tersebut akan terbagi menjadi beberapa kelompok, dan pada umumnya setiap kelompok dipimpin oleh seorang pejantan.
Sebagai salah satu jenis atau spesies primata dengan jumlah terbesar di Indonesia, kera ekor panjang atau Makaka ternyata memiliki peranannya sendiri dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Memiliki peranan dalam kehidupan kelompok masyarakat tentu saja akan berkaitan dengan kebudayaan masyarakat tersebut.
Makaka dalam khazanah budaya Nusantara
Dengan jumlah spesies yang sangat besar, Kera ekor panjang yang sekarang ini digolongkan sebagai hewan langka sudah tentu dapat ditemui di mana saja di belahan bumi Nusantara ini. Jika melihat kecenderungannya yang lebih memilih hidup di kawasan hutan sekunder, sudah barang tentu kera ekor panjang ini memiliki habitat yang dekat dengan pemukiman penduduk.
Melihat kedekatan kedua habitat tersebut, tak heran rasanya jika sejak zaman dahulu hingga hari ini, kera ekor panjang selalu “berkawan” baik dengan manusia. Lihat saja bagaimana “keakraban” antara Makaka dengan manusia di berbagai kawasan wisata di Indonesia. Mereka seolah tidak terganggu dengan kedatangan para turis ke habitat mereka, justru terkadang kedatangan turis membawa rezeki tersendiri bagi mereka. Di beberapa tempat pariwisata, Makaka ini menjadi sebuah “ancaman” terutama bagi para turis yang memakai berbagai aksesoris, seperti kacamata, topi dan lain-lain.
Hubungan antara kera ekor panjang dan manusia ternyata memunculkan sebuah “keintiman” tersendiri. Namun jangan salah, “keintiman” yang dimaksud bukan dalam bentuk fisik, tetapi lebih ke dalam bentuk abstrak, yaitu budaya. Di beberapa kebudayaan di Nusantara, seperti pada masyarakat Hindu Bali misalnya, sosok kera ekor panjang ini dianggap suci. Konon dalam konsepsi kebudayaan Hindu tersebut, kera dianggap sebagai hewan yang mampu membawa dua energi yang saling bertolak belakang, yaitu energi positif dan negatif. Kepercayaan masyarakat setempat mengenai energi positif yang dibawa oleh kera dapat dilihat pada pertunjukkan tari Barong.
Dalam pertunjukkan tersebut, Hanuman yang berwujud kera putih berekor panjang beralih wujud menjadi raksasa Barong untuk bertarung melawan raksasa Rangda. Barong sendiri dipercaya sebagai simbol kebaikan yang selalu bertarung melindungi umat manusia dari energi negatif atau kejahatan. Di sisi lain, kera pun dianggap sebagai pembawa energi negatif ketika hewan ini menjadi hama bagi ladang-ladang masyarakat agraris. Hal ini tentu saja merupakan peristiwa yang sangat sering terjadi, mengingat salah satu habitat kera ekor panjang terletak di dekat area pemukiman masyarakat agraris.
Mitos di atas ternyata bukanlah satu-satunya alasan mengapa kera dianggap sebagai salah satu mahluk suci di Bali. Ada beberapa alasan lain, diantaranya adalah kelompok kera yang berada di Sangeh. Konon kera-kera ekor panjang yang hidup disana berasal dari hutan di puncak Mahameru. Mereka kemudian tercecer dan terjatuh ketika Hanuman memindahkan puncak Mahameru. Namun ada lagi yang mempercayai bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan dari prajurit Putri. Lain lagi dengan kera-kera yang berada di Wana Wanara (Monkey Forest), Ubud, mereka dipercaya sebagai “Ancangan dewa” atau peliharaan dewa. Sebenarnya masih banyak lagi masyarakat kera ekor panjang yang berhabitat di Bali, seperti Alas Kedaton, Uluwatu dan lain-lain. Keberadaan kera-kera ekor panjang yang tersebar di berbagai tempat di Bali ini ternyata memiliki berbagai kisah dan legenda yang berbeda-beda. Meskipun demikian, berbagai kisah dan legenda yang berkembang tersebut sebenarnya merupakan indikasi kehadiran sosok kera ekor panjang dalam budaya masyarakat Nusantara.
Kera Ekor Panjang dan Ancaman Kepunahan
“Keintiman” antara kera ekor panjang dan manusia pun muncul hampir di berbagai daerah di Nusantara. Bukan hanya sekedar sebagai peliharaan, terkadang si kera dan manusia justru menjalin hubungan simbiosis mutualisme, mereka bukan hanya saling menguntungkan tetapi juga saling bergantung satu sama lain. Si kera dijadikan sebagai alat penyambung hidup manusia, hal ini seringkali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, pada pertunjukkan Doger atau Topeng Monyet misalnya. Ada pula para petani kelapa yang memanfaatkan kera ekor panjang sebagai alat untuk mengambil kelapa. Dengan melatih si kera, maka para petani tersebut tidak perlu susah-susah untuk memanjat pohon.
Sayangnya hubungan baik antar spesies itu tidak berjalan lama. Hingga hari ini keseluruhan populasi kera ekor panjang di dunia menurun drastis. Beragam masalah muncul sebagai penyebabnya, mulai dari masalah klasik pembukaan lahan tinggal bagi manusia, yang mempersempit habitat kera ekor panjang, pembabatan liar hutan-hutan tropis hingga perburuan liar untuk keperluan penelitian medis dan farmasi. Ada lagi yang paling menyeramkan, Makaka diburu secara liar untuk diternakkan di sebuah tempat dengan tujuan dikonsumsi dagingnya untuk tujuan kesehatan. Ironis dan miris rasanya, jika membayangkan bahwa hubungan manusia dengan kera ekor panjang yang telah terjalin lama akan berakhir dengan kepunahan salah satunya.
Jika melihat fakta di atas, sangat jelas terlihat bahwa hasrat manusia dalam mengeksploitasi alam dan berbagai bagian-bagian di dalamnya sudah sangat melampaui batas. Hanya demi kepentingan sekelompok orang saja, manusia kemudian merusak keseimbangan alam dan membahayakan bukan hanya spesies-spesbies lain tetapi juga sesamanya. Jika tindakan-tindakan eksploitas hewan seperti di atas masih terus dilakukan, bukan tidak mungkin anak cucu kita nanti tidak akan pernah melihat si kera ekor panjang lagi.
Lebih jauh dari itu, kita pun harus percaya bahwa sebagai salah satu anggota dari alam semesta, kera ekor panjang tentunya memiliki peran tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam, setidaknya dari segi rantai makanan. Jika salah satu mata rantai tersebut hilang, dapat diperkirakan bahwa akan terjadi ledakan populasi dari mata rantai yang lain, dan hal ini tentu saja akan sangat merugikan bagi alam dan juga manusia. Untuk menghindari hal tersebut, seyogyanya kita kembali belajar hidup bersinergi dengan alam semesta demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, bukan hanya bagi umat manusia, tetapi juga bagi semesta alam. (pj)