wiji thukul. Sebelum masuk ke Wiji Thukul, Saya ingin bercerita tentang pengalaman hidup saya di tahun 98. Pada masa itu saya berumur 9 tahun. Umur yang masih tidak tahu apa-apa tentang kehidpuan orang dewasa. Namun, Saya mengetahui ada sebuah peristiwa di tahun 98. Yang saya ingat dari peristiwa ini adalah kerusuhan dan penjarahan. Banyak cerita yang beredar di tempat Saya tinggal. Bukan soal penyebabnya, melainkan cerita tentang suasana ketika kerusuhan dan penjarahan tersebut terjadi.
Banyak cerita yang Saya dapat soal peristiwa ini, mulai dari cerita tentang banyaknya orang yang terbakar di dalam mall hingga cerita orang yang mendapatkan banyak barang dari hasil jarahan. Yang masih sangat saya ingat adalah, tentangga saya yang tukang becak, pulang-pulang membawa kulkas dan televisi. Pemandangan tersebut membuat Saya dan kawan-kawan saya yang notabene seumuran, berkeinginan untuk ikut-ikutan ke jalan dan menjarah. Namun orang tua kami sangat melarang bahkan untuk mendekati jalan raya pun kami dilarang.
Pernah satu hari Saya melanggar larangan tersebut. Saya dan kawan-kawan pergi ke IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) tempat di mana kita sering bermain. Kampus tersebut letaknya di pinggir jalan besar penghubung Jakarta Selatan dengan Tangerang Selatan. Saya melihat jalan tersebut sepi dan hanya ada sisa-sisa batu berserakan. Beberapa mobil tentara pun ada di sana serta wartawan stasiun televisi.
Melihat suasana tersebut, kami pun memutuskan untuk pulang. Kami sering melihat tauran antar STM di jalan tersebut, namun ini lain, ada perasaan ngeri. Ketika keesosakan harinya, baru lah Saya tahu bahwa ada kerusuhan di kampus IAIN tersebut dari berita di televisi. Untung saja, Saya dan kawan-kawan pergi ke sana setelah peristiwa itu terjadi. Saya pun cerita ke ibu saya dan habis lah saya di marahi. Sejak kejadian itu saya pun tak berani lagi mendekati jalan raya, apalagi di waktu sore ke malam. Yang saya ingat, pada masa itu, di daerah saya sering sekali mati lampu malam hari.
Helikopter pun sering seliweran dan bahkan mendarat di lapangan bola dekat rumah Saya. Melihat helikopter dari dekat adalah hal yang menyenangkan bagi Saya dan teman-teman. Kami segera menuju lapangan ketika mendengar ada helikopter mendarat. Namun sebelum mendekat, ada tentara yang menjaga di sekitar lapangan. “Nanti kena baling-baling, mau kepalanya putus?” tegur tentara tersebut. Akhirnya kami hanya melihat helikopter tersebut dari jauh. Helikopter tersebut menimbulkan awan coklat ketika lepas landas. Awan tersebut tercipta akibat hembusan angin dari baling-baling menerbangkan tanah lapangan yang berwarna coklat. Seolah-olah melarang kami melihat bagaimana Ia bekerja.
Ayah Saya pun pernah bercerita bahwa banyak toko-toko milik orang keturunan Tiong Hoa di jarah. Katanya “biar gak kena jarah ditulisin milik pribumi“, begitulah kata Ayah Saya. Kebetulan beliau juga punya toko di bilangan Depok. Tulisan-tulisan “milik Pribumi” di roling door pertokoan Jakarta mungkin masih banyak kita temukan sampai sekarang.
Setelah kerusuhan selesai dan situasi jalan sudah aman, Saya melihat banyak mall terbakar dan bahkan rata dengan tanah. Sebut saja Robinson Department Store di daerah Ciputat, bangunannya tak ada sisa. Di sebelahnya, ada Ramayan yang sudah berwarna hitam. “Dibakar orang” Kata Ibu saya. Yang terpikirkan oleh Saya adalah tidak bisa menonton bioskop lagi ketika melihat Ramayana yang gosong itu. Padahal di sana ada bioskop 21 pertama di daerah Ciputat.
Kemudian banyak cerita-cerita horor bermunculan. Banyak radio-radio suwasta meceritakan kejadian-kejadian horor setelah kerusuhan terjadi. Yang paling saya ingat adalah cerita tentang seorang sopir taksi yang mengantarkan seseorang ke sbuah mall yang sudah terbakar pada malam hari. Kata sopir taksi tersebut penumpangnya tidak kelihatan mukanya, memakai topi dan sedikit bau gosong. Setelah penumpang itu turun dari taksi dan membayar ongkos, penumpang itu langsung menghilang dan uangnya berubah menjadi daun. Kisah tersebut cukup membuat saya dan kawan-kawan saya ketakutan hingga enggan keluar malam.
Cerita-cerita seram itu mulai perlahan menghilang ketikan Presiden Soeharto lengser dari jabatannya dan digantikan oleh B. J. Habibie. Sebagai anak umur 9 tahu, Saya pun tidak tahu-menau apa penyebapnya, Yang jelas, foto presiden di atas papan tulis sekolah saya sudah berganti. Ibu guru di sekolah pun tidak pernah membahas soal peristiwa tersebut. Hanya memberi tahu bahwa presiden kita hari ini adalah B. J. Habibie.
Kira-kira memori itu lah yang terlintas di benak Saya ketika membaca sajak-sajak Wiji Thukul. Sajaknya membawa saya ke masa kecil. Merasakan kembali ketegangan sosial dan politik Indonesia dari sudut pandang anak-anak. Namun bagai mana dengan Whiji Thukul sendiri? apa ceritanya tentang 98? Yang jelas ia sudah tidak diketahui keberadaannya pada tahun tersebut. Namun, Wiji Thukul meninggalkan sajak-sajak yang menggambarkan tumpukan bom waktu yang bisa saja suatu saat akan meledak. Dan terbukti bahwa bom waktu tersebut meledak di tahun 98. Bahkan, tumpukan bom waktu itu bisa saja masih ada sampai sekarang dan mungkin akan meledak lagi di lain waktu.
…
Sajak-sajak Wiji Thukul selalu berisi tentang kemiskinan, ketidakadilan dan penderitaan. Tidak sulit sebenarnya membaca sajak-sajak Wiji Thukul, kata kuncinya ya itu tadi “kemiskinan, ketidakadlian dan penderitaan”. Hampir di setiap sajaknya mengandung tiga unsur tersebut. Bahkan sajak yang judulnya manis pun, jika dibaca, anda akan menemukan salah satu dari tiga unsur tersebut, Contohnya saja sajak yang berjudul ada pelangi di langit sore.
ada pelangi di langit sore
ada pelangi di langit sore
seusai siang badai
ada damai menjelang senja
lalu malam
selamat tidur…
sampai jumpa esok hari
badai nanti lagi
seperti biasa
Seolah-olah ingin menyanjung pelangi, tapi yang terpikirkan adalah badai. Badai yang setiap hari datang dan akan selalu datang di siang hari.
…
Wiji Thukul tidak hanya menyuarakan penderitaan diri sendiri di dalam karyanya. Sajak-sajak yang berjudul tetangga sebelahku, sajak bapak tua, suti, darma, menceritakan tentang penderitaan orang lain dan ketidakadilan yang mereka dapatkan. Sajak-sajaknya pun sangat deskriptif. Apa yang dilihat, itu yang ia tulis. Seolah-olah tak ingin berbelit-belit, Wiji Thukul menyampaikan pikiran dan perasaannya secara gamblang. Namun demikian, kita juga harus dibekali dengan pengetahuan soal keadaan sosial dan politik untuk mengerti maksud dari sajak-sajaknya.
Pada mukodimah bukunya yang berjudul Nyanyian akar rumput, Wiji Thukul menyebutkan “Penyair harusnya berjiwa “bebas dan aktif”, bebas mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya”. Saya mencoba membaca ulang sajak-sajak Wiji Thukul setelah membaca pernyataannya tersebut. Wiji Thukul tidak pernah mempertanyakan keyakinannya soal keadilan, kemiskinan dan penderitaan. Justru yang dipertanyakan adalah keyakinan terhadap kepenyairannya.
Ia mempertanyakan apakah puisi bisa menghidupi keluarganya? apakah puisinya bermanfaat? seperti tercermin dalam sajak yang berjudul apa yang berharga dari puisiku. Namun di satu sisi Ia membuat sajak yang berjudul penyair adalah petapa agung. Hal seperti ini mungkin banyak dirasakan oleh penyair dan seniman, namun jarang sekali tertuang di dalam sebuah karya. Kejujuran seorang Wiji Thukul dalam berkarya, menjadikan sajak-sajaknya berkarakter serta menabah warna di dalam kesusastraan Indonesia.
…
Saya jadi berfikir, jika keadilan, kesengsaraan dan penderitaan telah berlalu atau kasarnya Wiji Thukul tiba-tiba menjadi tajir, apakah kejujuran dan sikap kritisinya akan berubah? Jika penguasa pada saat itu memilih untuk membuat Wiji Thukul menjadi seorang yang kaya raya ketimbang menghilangkannya, apakah puisi-puisinya akan berubah? Namun itu hanya pikiran curiga Saya saja kepada keyakinan Wiji Thukul. Pikiran curiga dengan kacamata kekinian yang mungkin saja tidak fair.
Wiji Thukul hidup di zaman di mana ketidakadilan terlihat jelas di depan mata. Penderitaan dan kesengsaraan adalah makanan sehari-hari. Harapan untuk lepas dari kemiskinan seolah-olah terhalang tembok besar yang sengaja dibuat oleh penguasa. Masyarakat sosial bawah dipaksa untuk kanibal, saling tipu satu sama lain. Berbuat untuk suatu perubahan pun tidak berani karena bisa-bisa nyawa melayang. Gambaran zaman seperti itulah yang disajikan Wiji Thukul di dalam sajak-sajaknya. Dan zaman seperti itu juga lah yang membuat Wiji Thukul tak mau bertele-tele dalam berpuisi.
Sajaknya yang mudah dicerna dan tidak bertele-tele itu ternyata terbukti menjadi bahan bakar para pejuang perubahan. Almarhum Munir menuliskan bahwa Wiji Thukul telah menemukan api semangat perjuangan untuk melawan rezim otoriter. Kalimat “Hanya ada satu kata: Lawan!” dari sajaknya yang berjudul Peringatan, selalu dipakai kelompok-kelompok pejuang perubaha pada zaman itu. Api tersebut selalu dijaga Wiji Thukul lewat berpuisi serta ikut aktif dalam perjuangan. Dan pada akhirnya, sajak-sajak Wiji Thukul membawa Indonesia ke era seperti sekarang ini.
Fariz