Irene adalah Kita Sendiri

I’ve been drowning on my knees, I’ve been fallin into pieces…

Cinta merupakan masalah yang pelik bagi umat manusia, setidaknya kita bisa melihat kedalam karya-karya yang masih menjadi biang pembicaraan sampai di era abad ke-21 ini, mari sejenak kita melakukan kilas balik kedalam karya White Nights yang ditulis oleh Fyodor Dostoyevsky, dalam mahakarya tersebut konflik percintaan adalah tema utama yang disajikan penulis bagi para penikmat karyanya, romantisme konflik percintaan merupakan tema yang menarik setidaknya dari awal penulisan White Nights pada tahun 1848 hingga saat ini.

Seorang psikolog musik Dr. David Huron pada tahun 2006 pernah meneliti perihal tema yang paling dominan dalam musik, dalam penelitiannya yang berjudul “Sweet Anticipation: Music and The Psychology of Expectation”, Dr. David Huron menjelaskan bahwa pada 745 lagu populer dalam rentang waktu dari tahun 1930-2005, 60% lagu yang populer dalam rentang masa tersebut memiliki tema percintaan, hal tersebut didukung oleh pendapat Dr. Helen Fisher dalam bukunya Why We Love?” menjelaskan bahwa cinta adalah bahasa yang universal dan tidak terbatas oleh budaya dan bahasa mereka.

Romantisisasi Kegagalan Cinta

Irene merupakan topik bahasan kali ini, single berdurasi tujuh menit ini diproduksi oleh group band HUSH dan ditulis oleh Albin Dzaki, dalam tujuh menit pemutaran kita disajikan oleh musik mendayu berlirik provokatif dalam meromantisasi cinta, penulisan lirik adalah pemantik dalam essai ini ditulis, jika kita menilik ke pada awal lagu ini diputar kita akan menemukan lirik sebagai berikut:

Take my life,
From this rounding mind,
Lay down,
I’ll tell you what everything I see.

Sekilas memperhatikan potongan lirik di atas akan menemukan aura pessimistic dalam percintaan, pengejaran cinta dilakukan secara sebelah tangan oleh sudut pandang orang pertama dalam musik ini, secara tidak langsung kita menyebutnya cinta yang tidak terbalas. Hal tersebut semakin jelas dengan penggunaan lirik tersebut dalam awal lagu, setidaknya kita jadi mengetahui bahwa penulis lagu tersebut memang memproyeksi lagu tersebut ke arah meromantisisasi kegagalan cinta.

Topik pengejaran cinta yang tak terbalas memang sesuatu yang pelik dan kuno, mari mengingat sejenak rasanya kita sudah sangat sering disajikan dengan topik tersebut namun dirasa Hush dapat mengemasnya menjadi sesuatu yang menarik, namun yang lebih menarik adalah membicarakan sudut pandang dalam lagu ini, Jean Paul-Sartre seorang filsuf Existensialisme menjelaskan dalam bukunya Eksistensialisme adalah Humanisme bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mencari makna dan tujuan dalam hidup, dan cinta dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai hal tersebut.

Cinta dapat menjadi salah satu cara dalam mencapai tujuan dalam hidup, namun jika kita melihat kembali penggalan lirik yang disajikan dalam lagu tersebut:

Irene
Let you die in me
Irene
You flowing in my vein

Kita dapat melihat penggalan lirik diatas sebagai pemantik perenungan kembali terhadap tujuan cinta dalam hidup, apakah cinta adalah tujuan utama dalam hidup? Apakah semua jenis percintaan dapat kita rayakan? Apakah justru sebuah kegagalan dalam kisah cinta yang romantis sesungguhnya adalah kemenangan?

Cinta yang Gagal dan Cinta yang Berhasil

Cinta yang harmonis dan ideal sesungguhnya sudah tertanam dalam pikiran kita sejak awal mengenal patah hati bahwa cinta yang harmoni dan ideal adalah cinta yang saling membalas, namun kita paham bahwa dunia tidak berputar sebagaimana yang kita inginkan, semakin beranjak dewasa tentu kita dapat memahami bahwa cinta yang tak tersampaikan atau cinta yang tak terbalas terkadang ada baiknya juga. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita bisa merayakan cinta yang tak tersampaikan atau tak terbalas tersebut?

Irene yang diproduksi oleh Hush merupakan salah satu bentuk ekspresi dalam merayakan cinta yang gagal, perayaan terhadap cinta yang gagal tersebut dapat mengubah pandangan kita bahwa cinta tidak harus perihal dua orang yang saling mencintai, dalam konteks lagu ini mari kita pahami bahwa cinta bisa saja berjalan satu sisi tanpa harus mengganggu ranah privasi atau memaksa individu yang lainnya.

Emma Goldman dalam Anarchism and Other mengemukakan bahwa kesedihan karena kehilangan cinta atau karena cinta yang tidak berbalas di antara orang-orang yang mampu berpikir kritis dan baik, tidak akan pernah membuat seseorang menjadi buruk. Mereka yang peka dan baik-baik saja hanya perlu bertanya pada diri sendiri apakah mereka dapat mentolerir hubungan yang diwajibkan, dan pernyataan tidak yang tegas akan menjadi jawabannya.

Mencintai individu yang tidak mencintai kita bukanlah sesuatu yang salah, hal tersebut lebih baik daripada memaksakan cinta yang tidak bersimbiosil mutualisme dalam sebuah relasi hubungan yang justru memperburuk keadaan antar individu, walaupun kita tahu kita ingin seperti Irene yaitu dicintai, Irene adalah kita sendiri.

Oleh: Reza P

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Trend

Popular Stories

Artikel lainnya

Desa Pejeng, Desa Purba di Bali

Sejak zaman dahulu kala, Negara kepulauan Indonesia sudah terkenal dengan kekayaan alamnya. Tidak sedikit bangsa-bangsa besar yang ingin menguasai kepulauan yang terletak tepat di garis

Read More »