Adipati Karna: Kompleksitas, Dualisme dan Keagungan

Adipati Karna

Adipati Karna melakukan berbagai hal-hal baik hanya demi kebenaran yang ia percaya, bukan demi penilaian-penilaian baik dari manusia terhadap dirinya.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan pernah mengajukan suatu topik diskusi, ia mempertanyakan tentang sosok Adipati Karna dan posisinya yang diagungkan di kalangan masyarakat Jawa. Dalam perspektifnya, ia melihat bahwa Adipati Karna yang merupakan salah satu tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata itu adalah tokoh yang sombong dan angkuh. Selain itu, sang raja Awangga pun dianggapnya mengkhianati para Pandawa yang merupakan adik-adik kandungnya sendiri. Atas dasar-dasar itulah ia kemudian mempertanyakan penasbihan Adipati Karna sebagai seorang ksatria agung.
Agak sulit sebenarnya menjawab keraguan di atas. Untuk mengetahui jawabannya secara jelas dan benar tentu saja dibutuhkan penelaahan yang sangat mendalam terhadap wiracarita Mahabharata dari berbagai versi, termasuk versi Jawa. Melihat kenyataan itu, tentu saja tulisan ini akan sangat kurang memadai. Oleh karena itu, dengan didukung oleh interpretasi sederhana serta rujukan dari berbagai hasil penelitian, tulisan ini pada akhirnya hanya bertujuan untuk mengurai serta mengungkap sedikit saja kompleksitas dari sosok Adipati Karna.
Sosok Adipati Karna memang banyak memancing munculnya beragam anggapan dan penilaian. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di wiracarita Mahabharata, sosok ini mungkin dapat digolongkan sebagai tokoh yang istimewa. Keistimewaan sang raja Awangga tersebut bukan hanya dari segi silsilahnya saja, tetapi juga dari sisi perjalanan hidup serta kompleksitas kepribadiannya yang sulit ditebak. Sebelum berbicara lebih banyak tentang sosok Radheya, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu uraian singkat perjalanan hidupnya.

Putera yang terbuang

Dalam wiracarita Mahabharata, dikisahkan ada seorang puteri cantik bernama dewi Kunti, ia adalah puteri dari prabu Kuntiboja atau Basukunti, seorang raja dari bangsa Yadawa. Dewi Kunti remaja berguru pada seorang resi bernama Durwasa. Karena sang resi sangat sayang kepada anak muridnya tersebut, akhirnya sang resi memberikan kesaktian berupa mantera Adithyahrehdaya kepada dewi Kunti. Mantera itu memiliki kesaktian untuk memanggil dewa serta mendapat anugerah putera dari dewa yang dipanggilnya.
Karena rasa kuriositasnya yang tinggi, dewi Kunti akhirnya mencoba kesaktian barunya tersebut. Ia mencoba menggunakan ilmunya itu ketika terbit sang surya. Tak lama kemudian, turunlah bhatara Surya memenuhi panggilan sang dewi. Karena dewi Kunti memanggil sang dewa matahari itu dengan mantera Adithyahrehdaya, maka dewa itu pun menganugerahkan putera kepada dewi Kunti. Namun, karena saat itu dewi Kunti belum menikah, maka bhatara Surya pun membantu dewi Kunti untuk melahirkan puteranya tersebut melalui telinganya. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kegadisan serta menjaga dari aib yang akan menimpanya.
Selanjutnya, Jabang bayi yang baru lahir tersebut kemudian dihanyutkan ke sungai Aswa. Agar kelak dikenali di kemudian hari, jabang bayi itu diberi pakaian serta perhiasan khas bhatara Surya sebagai identitasnya. Tak lama dari peristiwa itu, dewi Kunti kemudian menikah dengan prabu Hastinapura, Pandu Dewanata. Kelak di kemudian hari, mereka berdua beserta dewi Madrim akan melahirkan lima orang ksatria yang dikenal sebagai para Pandawa.
Jabang bayi yang dihanyutkan ke sungai Aswa akhirnya ditemukan oleh seorang kusir istana Hastinapura bernama Adirata. Karena pakaian yang dikenakan oleh si bayi merupakan identitas khas bhatara Surya, maka Adirata memberi nama bayi tersebut Basusena.
Beranjak besar, Basusena pun terkadang dipanggil Radheya yang berarti anak Radha, ia adalah isteri dari Adirata. Karena menyadari bahwa anak angkatnya sebenarnya berasal dari kasta ksatria, maka ketika Basusena beranjak dewasa, Adirata berusaha agar anaknya dapat belajar kepada Begawan Dorna. Tetapi karena Dorna menganggap Basusena adalah anak seorang kusir, ia menolak menerimanya menjadi murid. Meskipun tidak diterima, namun Basusena selalu mencuri-curi ilmu ketika Resi Dorna mengajar para Pandawa dan Kurawa.

Adipati Karna

Di akhir pendidikan para Pandawa dan Kurawa, resi Dorna mencoba memperlihatkan kemampuan para anak didiknya tersebut. Sebagai hasilnya, Dorna mengumumkan bahwa Arjuna adalah yang terbaik, namun pada saat itu, Basusena yang merasa dapat mengalahkan Arjuna dalam ilmu memanah maju untuk menantangnya. Tantangan dari sang Basusena kontan saja ditolak oleh Dorna, alasannya masih sama, karena Basusena adalah putera seorang kusir dan bukan dari golongan ksatria. Namun pada saat itu, Duryudana yang merupakan sulung dari para Kurawa datang untuk membela Basusena.
Duryudana yang telah mengetahui kemampuan Basusena meminta kepada ayahnya, prabu Destarata untuk mengangkat Basusena sebagai Adipati atau raja bawahan di Awangga. Permintaan Duryudana tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat Basusena menjadi seorang ksatria. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi titik balik dari kehidupan Basusena.
Kebaikan dari Kurawa tersebut kelak dijadikannya sebagai hutang budi. Karena kemampuannya yang mumpuni dalam ilmu berperang maka Basusena pun disebut dengan nama Karna. Versi lain menyebutkan bahwa nama Karna berasal dari kata ”telinga” yang merupakan bagian dari proses kelahiran sang Basusena. Setelah peristiwa pengangkatan Basusena sebagai Adipati di Awangga, maka selanjutnya, ia dikenal dengan nama Adipati Karna.

Basusena dan Kontawijayadanu

Perselisihan antara Karna dan Arjuna memang sudah diramalkan oleh para dewa. Di garisan nasib, kedua saudara tersebut ditakdirkan akan bertempur di padang Kurusetra pada perang besar Bharatayudha. Garisan nasib tersebut membuat orangtua keduanya sangat khawatir. Untuk menyelamatkan Arjuna, maka bhatara Indra sebagai ayahnya menyamar menjadi seorang resi tua untuk merebut baju zirah Karna yang merupakan anugerah dari dewa Surya.
Tetapi di luar prediksi bhatara Indra, Karna ternyata dengan penuh keikhlasannya memberikan baju zirahnya tersebut, karena ia telah bersumpah untuk menjadi seorang yang ikhlas dan dermawan. Melihat keihkhlasan dan kedermawanan Karna tersebut, bhatara Indra justru menganugerahkan senjata Kontawijayadanu kepada Karna. Senjata itu mampu membunuh siapa saja tak terkecuali para dewa, namun hanya dapat dipakai sekali saja.
Versi lain menyebutkan bahwa ketika Gatotkaca lahir, tali pusarnya tidak dapat diputus dari rahim dewi Arimbi. Untuk memotong tali pusar tersebut dibutuhkan Kontawijadanu milik bhatara Indra. Agar niatan tersebut dapat tercapai maka para Pandawa mengutus Arjuna untuk meminjam senjata itu kepada ayahnya. Niatan tersebut rupanya sampai ke telinga bhatara Surya dan langsung disampaikan kepada Karna, puteranya. Dengan bantuan ayahnya, Karna berhasil menjalankan tipu muslihatnya untuk mencuri Kontawijadanu.
Mengetahui bahwa senjata milik dewa Indra jatuh ke tangan Adipati Karna, Arjuna akhirnya mendatangi Karna dan mengajaknya berkelahi untuk merebut kembali Kontawijayadanu. Karena sama-sama kuat, maka Arjuna pun hanya mendapat sarungya saja. Akhirnya sarung konta itulah yang dipakai untuk memotong tali pusar Gatotkaca, anehnya sarung itu langsung masuk ke dalam tubuh putera Bima tersebut. Sarung konta tersebut justru membuat Gatotkaca menjadi sakti mandraguna.
Kontawijayadanu yang berada di tangan Adipati Karna kelak akan kembali ke sarungnya yang berada di dalam tubuh Gatotkaca. Peristiwa dan ramalan itu pula yang dianggap sebagai kejadian yang akan menghindarkan Arjuna dari kematian di tangan Karna.

Adipati Karna dan asal usulnya

Dalam hal percintaan, Adipati Karna mulai menunjukkan kompleksitas kepribadiannya. Wanita yang ia pilih sebagai kekasih hatinya adalah Surtikanti puteri prabu Salya. Surtikanti ini sebenarnya adalah calon permaisuri Hastinapura, calon isteri dari Duryudana, prabu junjungan Karna.
Dalam sebuah versi, dikisahkan Arjuna menangkap basah Karna yang sedang berkasih-kasihan dengan puteri Surtikanti. Karna dan Arjuna pun akhirnya berkelahi, namun pertarungan tersebut dilerai oleh bhatara Narada. Pada saat itu pula Narada memberitahu kepada Karna tentang asal-usulnya yang merupakan putera dari dewi Kunti.
Versi lain mengatakan bahwa Karna mengetahui asal-usulnya tersebut justru dari bhatara Kresna yang pada waktu itu berniat membujuk Karna untuk kelak memihak Pandawa di perang Bhatarayudha. Pada saat itu Karna menolak bujukan Kresna, meskipun ia menerima dan memaafkan apa yang terjadi pada dirinya dulu. Hutang budi adalah alasan mengapa Karna tetap membela Kurawa.
Versi lain juga menyebutkan bahwa Karna tetap membela Kurawa agar Duryudana mendapat suntikan moral dalam pasukannya, sehingga sang prabu Hastina tersebut tidak mundur dalam perang Bharatayudha. Ia berpendapat bahwa hanya Pandawa yang dapat menghancurkan kejahatan Kurawa dan untuk itu Kurawa harus tetap ikut berperang.
Sebelum berperang, Karna bertemu terlebih dahulu dengan ibundanya dewi Kunti. Pada pertemuan itu, Karna memaafkan ibunya dan bersumpah tidak akan membunuh satu pun adik-adiknya dalam perang Bhatarayudha.

Adipati Karna di padang Kurusetra

Pada pertempuran Bhatarayudha di padang Kurusetra, Karna menjadi panglima perang Kurawa pada hari ke lima belas. Di pertempuran tersebut, ia bertemu dengan panglima perang terbaik Pandawa, Gatotkaca. Menurut salah satu versi, pertemuan tersebut merupakan takdir pertemuan Kontawijayadanu dan sarungnya.
Pasukan Kurawa sangat kesulitan menghadapi Gatotkaca dan pasukannya, entah berapa banyak korban yang jatuh di pihak Kurawa. Untuk menjatuhkan putera Bima tersebut, mau tidak mau Karna harus menggunakan Kontawijayadanu milik bhatara Indra untuk membunuh Gatotkaca. Karena penggunaannya yang hanya bisa satu kali maka setelah digunakan membunuh Gatotkaca, senjata Kontawijayadanu akhirnya bersatu kembali dengan sarungnya kemudian hilang seiring gugurnya ksatria dari Pringgondani.
Gugurnya Gatotkaca sebenarnya merupakan pukulan telak bagi pihak Pandawa, namun di sisi yang lain, Pandawa mendapat keuntungan karena Kontawijayadanu yang sangat ditakuti telah kembali ke pemiliknya. Keuntungan tersebut langsung dipergunakan oleh pihak Pandawa. Sebenarnya Karna berhasil mengalahkan pasukan Pandawa yang lainnya, namun karena sumpahnya kepada dewi Kunti untuk tidak membunuh adik-adiknya, maka para Pandawa pun selalu selamat dalam pertempuran.
Tiba akhirnya ketika Karna bertempur dengan Arjuna. Saat pertempuran itulah, Arjuna akhirnya dapat membunuh Karna dengan panah Pasupati andalannya. Gugur akhirnya sang putera Surya di tangan adik kandungnya sendiri. Dikisahkan di bagian akhir wiracarita Mahabharata, Adipati Karna akan berkumpul di surga dengan para Pandawa, bukan dengan para Kurawa.

Kompleksitas Karna

Dalam perjalanan hidupnya, Karna sebenarnya melewati cobaan yang sangat sulit. Kehadiran Karna di dunia pada dasarnya dapat dikatakan percobaan dewi Kunti terhadap mantera Adithyahrehdaya yang dianugerahkan kepadanya. Setelah akhirnya berhasil, kemudian jabang bayi Karna dibuang begitu saja ke sungai Aswa.
Latar belakang kelahiran Adipati Karna tersebut dapat dianggap sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya kelak. Di samping itu, stastusnya yang hanya sebagai anak kusir Adirata membuat Karna dewasa mengalami banyak cobaan dalam hidupnya, berbagai penolakan serta penghinaan kerap datang kepadanya, terutama dari para Pandawa. Sebagai seorang demi godputera dewa yang juga mengalir darah ksatria di dalam dirinya, Karna ternyata dapat melewati semua cobaan tersebut dengan tabah, hingga akhirnya derajatnya sebagai seorang ksatria ”dikembalikan” oleh Duryudana.
Dalam kehidupannya sebagai seorang Adipati di Awangga, Karna dikenal sebagai seorang bangsawan yang angkuh dan sombong. Jika ditelaah lebih dalam, pada dasarnya wajar-wajar saja ia bersikap seperti itu. Keangkuhan dan kesombongannya dapat dikatakan sebagai salah satu defense mechanism yang ia tunjukkan, mengingat pada masa lalunya ia selalu direndahkan dan dihina.
>Akan tetapi, di balik keangkuhan dan kesombongannya tersebut, ia pun dikenal sebagai seorang ksatria yang sangat dermawan. Bahkan menurut salah satu versi Mahabharata, kedermawanannya tersebut mendapat pengakuan dari sang rajadewa, bhatara Indra. Sebagai apresiasi atas keagungan sifatnya tersebut Karna dipinjamkan senjata Kontawijayadanu oleh sang rajadewa.
Di sisi yang lain, Adipati Karna sebagai seorang ksatria banyak melakukan manuver-manuver yang dapat dikatakan licik. Atas dasar itu pula akhirnya banyak orang memandang sosok Karna dengan stigma negatif. Kelicikan Karna antara lain dapat dilihat ketika ia mencoba memadu kasih dengan dewi Surtikanti, putera prabu Salya. Meskipun dewi Surtikanti belum memiliki suami, namun sebenarnya Karna sudah mengetahui bahwa pujaan hatinya tersebut merupakan calon istri Duryudana sekaligus calon permaisuri keraton Hastinapura.
Tindakan Karna tersebut sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebuah pengkhianatan, mengingat sang Adipati tersebut dengan terang-terangan selalu berkata berhutang budi kepada Duryudana. Hal ini pula yang menjadi indikasi bahwa Adipati Karna tidak dapat ditundukkan oleh siapa pun, bahkan oleh orang yang berjasa besar terhadap hidupnya. Manuver lain yang dilakukan oleh Karna adalah berpura-pura menjadi resi ketika berguru kepada resi Parasurama demi mendapat kesaktian.
Pada perang Bharatayudha Adipati Karna sempat berselisih dengan Bisma Dewabrata, kakek para Pandawa dan Kurawa. Perselisihan tersebut dipicu oleh penolakan Bisma akan kehadiran Karna dalam pasukannya. Sang resi Bisma tidak ingin Karna yang angkuh dan sombong menjadi salah satu punggawanya. Karena perselisihan itulah, Karna bersumpah tidak akan berperang di padang Kurusetra selama Bisma menjadi panglima perangnya.
Akan tetapi, ketika resi Bisma takluk di tangan Srikandi, Karna datang menjenguk sang resi yang sedang sekarat karena dihujam ribuan panah Srikandi. Pada pertemuan kedua tokoh tersebut, Karna dan resi Bisma saling meminta maaf atas kesalahan masing-masing. Di akhir perbincangan mereka, sang resi meminta agar Karna bertempur di pihak Pandawa, apalagi Karna telah mengetahui bahwa mereka adalah adik-adik kandungnya sendiri. Namun pada saat itu Karna bersikukuh menolak permintaan sang resi dan tetap akan membela Kurawa.
Sebenarnya sebelum perang Bharatayudha terjadi, Karna sempat bertemu dengan dewi Kunti, ibu kandungnya. Pada pertemuan tersebut dewi Kunti memohon maaf atas kejadian masa lalu dan meminta agar Karna kembali bersama para Pandawa pada saat perang Bharatayudha nanti. Saat pertemuan itulah Karna menunjukkan keikhlasannya untuk memaafkan ibu yang pernah membuangnya.
Meskipun ia menolak untuk membela para Pandawa, Adipati Karna menunjukkan dharma baktinya kepada dewi Kunti dengan bersumpah tidak akan membunuh adik-adiknya sendiri. Ia menjelaskan bahwa pemihakkannya kepada Kurawa tidak lain daripada pengabdiannya kepada ”kebenaran”, tanpa kehadirannya di pihak Kurawa, ia yakin kejahatan para Kurawa tidak akan pernah hancur.
Alasan ini pula yang disampaikannya kepada bhatara Kresna ketika mencoba membujuknya membela untuk Pandawa. Meskipun telah ikhlas menerima dan memaafkan masa lalunya serta menerima posisinya sebagai kakak dari para Pandawa, tetap saja Adipati Karna selalu menunjukkan keangkuhannya ketika bertemu dengan adik-adik kandungnya sendiri, walaupun pada akhirnya ia memang tetap memegang teguh janjinya kepada dewi Kunti untuk tidak membunuh para Pandawa di perang Bhatarayudha.

Keistimewaan sang Basusena

Adipati Karna dengan segala kompleksitasnya sebenarnya merefleksikan manusia pada umumnya. Ada nilai-nilai dualisme yang terkandung dalam kompleksitasnya itu. Nilai-nilai itulah yang selalu hadir dalam sosok manusia pada umumnya. Adipati Karna menunjukkan kepada kita bahwa dalam kehidupannya, orang baik tidak selalu melakukan kebaikan, ada kalanya orang itu pun melakukan kejahatan. Sebaliknya, manusia yang dinilai jahat ada kalanya pernah berbuat kebaikan.
Sosok Basusena memang penuh dengan dualisme, dari silsilahnya saja dapat dilihat bahwa ia merupakan perpaduan antara manusia dengan dewa. Ia berasal dari golongan ksatria namun dibesarkan oleh rakyat biasa. Ia ikhlas serta dermawan, namun dikenal pula sebagai ksatria yang angkuh dan sombong. Di samping itu, Adipati Karna pun merefleksian sifat-sifat ambisius manusia. Untuk memuaskan hasratnya, terkadang ia dapat melakukan segala cara, termasuk manuver-manuvernya yang penuh tipu muslihat.
Selain dualisme yang direfleksikannya, Karna pun menunjukkan sebuah arti pengorbanan serta pengabdian kepada kebenaran. Sejak kecil ia sudah diminta untuk berkorban, ia dibuang ke sungai Aswa, dijauhkan dari status kebangsawanannya dan akhirnya hampir sebagian hidupnya dilalui tanpa pernah mengenal orangtua kandungnya sendiri.
Semua pengorbannya tersebut harus ia jalani demi terjaganya kehormatan dewi Kunti, ibundanya. Beranjak dewasa, menjelang perang Bharatayudha, ia pun harus berjiwa besar memaafkan kesalahan ibunya, mengikhlaskan masa lalunya serta mengorbankan ambisinya untuk mengungguli Arjuna dalam perang Bharatayudha.
Meskipun pengorbanan yang ia lakukan sudah sedemikan banyak, ternyata Karna pun harus mengorbankan dirinya pada perang di padang Kurusetra. Dengan menolak berpihak kepada Pandawa, ia secara tidak langsung telah mengorbankan kejayaan, kehormatan, kemenangan serta tahta yang ia akan miliki. Sebaliknya ia memilih kekalahan dan kematian yang sudah menjadi takdirnya dengan memilih memihak kepada Kurawa.
Pengorbanan Karna sebenarnya merupakan pengabdiannya pada kebenaran, tentunya dalam konteks yang luas. Ia mengabdi pada sebuah ”karmapala” tentang kejahatan yang selalu dihancurkan oleh kebenaran. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya dalam dirinya, Karna sudah mengetahui peranannya dalam dunia dan roda dharma. Adipati Karna sadar bahwa ia dilahirkan untuk membantu keseimbangan dalam dunia. Keinsyafan itulah yang sempat dia ucapkan dua kali, yaitu kepada Bhatara Kresna sebagai titisan Wisnu dan Ibundanya, dewi Kunti.
Pada akhirnya, sosok Adipati Karna haruslah dilihat dalam konteks yang luas. Dalam hal ini kita tidak dapat menilai Adipati Karna secara pragmatis. Sang Basusena justru melepaskan dirinya dari nilai-nilai pragmatis. Dalam hidupnya ia merupakan sosok yang dermawan, ikhlas serta berani berkorban. Tindakan-tindakan seperti itu tentu saja memunculkan berbagai penilaian positif terhadap dirinya, namun di sisi lain, ia pun menunjukkan kelicikkan, keangkuhan serta kesombongan.
Dapat dikatakan bahwa sepanjang hidupnya ia selalu melakukan hal-hal yang paradoksal – bertentangan. Bukankan hal tersebut justru menandakan bahwa Karna adalah sosok yang munafik? Meskipun demikian, harus dilihat pula bahwa keangkuhan serta kesombongan yang selalu ia tunjukkan, justru ditunjukkannya kepada para kaum bangsawan dan ksatria. Sementara hal-hal baik justru ia tunjukkan kepada rakyat jelata yang memang seharusnya menjadi ayoman para bangsawan dan ksatria. Dari perilakunya tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya Adipati Karna melakukan berbagai hal-hal baik hanya demi kebenaran yang ia percaya, bukan demi penilaian-penilaian baik dari manusia terhadap dirinya.
Dengan keistimewaan sang Basusena, tentunya kita paham jika pada akhirnya, sosok Adipati Karna yang erat dengan keikhlasan dan pengorbanan tersebut memiliki posisi istimewa di kalangan masyarakat Jawa. Keistimewaan sosok Karna dapat kita lihat pula dalam dunia pewayangan, untuk pertunjukkan dramatari wayang wong Priangan, tokoh Adipati Karna memakai aksesoris mahkota Ketu Topong. Makhota itu pula yang dipakai oleh tokoh Bhatara Guru, selain kedua tokoh tersebut, tidak ada lagi yang memakainya. Tentu saja ada alasan tertentu mengapa Karna mendapat keistimewaan untuk memakai mahkota seperti Bhatara Guru. Padahal jika dilihat dari status kebangsawanannya, Karna hanyalah raja bawahan di Awangga.
Salah satu contoh keistimewaan sosok Karna di kalangan masyarakat Jawa dapat kita lihat pada akhir tahun 2010 yang lalu, ketika gunung Merapi mengamuk, mata orang banyak tertuju pada sosok Mbah Maridjan. Setelah akhirnya Si Mbah meninggal dunia karena wedus gembel Merapi, banyak orang yang kemudian mengasosiasikan Si Mbah dengan sosok Adipati Karna.
Dari perspektif kelompok masyarakat tertentu, kedua tokoh tersebut dihormati karena keberanian serta keikhlasan mereka untuk berkorban demi sebuah kebenaran yang mereka percaya. Tak banyak orang yang berani memilih cara hidup seperti kedua tokoh tersebut. Di dalam dunia yang semakin pragmatis ini, sosok Mbah Maridjan tampil mencolok, sepanjang hidup hingga ajal menjemputnya, ia setia dengan prinsip kebenaran yang ia percayai tanpa mempedulikan nilai-nilai pragmatis yang timbul di kalangan masyakarat.
Dari sisi tertentu, sosok Si Mbah akhirnya mengajak sebagian masyarakat Jawa untuk bernostalgia kepada sosok Adipati Karna. Atas dasar itulah akhirnya Mbah Maridjan diasosiasikan dengan sosok Adipati Karna yang agung. Tentu saja sekali lagi, harus dilihat dalam konteks yang luas, bukan pragmatisnya saja.
Pada akhirnya penilaian terhadap sosok Adipati Karna akan bergantung pada perspektif mana yang akan dipilih, luas? Atau pragmatis? Yang pasti agar semakin terang dan jelas, dibutuhkan penelaahan lebih mendalam terhadap sosok Adipati Karna serta tokoh-tokoh lain di wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Penelaahan tersebut tentu saja akan sangat bermanfaat bagi kekayaan khazanah budaya Nusantara, mengingat banyak sekali kandungan filosofis serta nilai-nilai luhur di dalam dua mahakarya sastra tersebut yang dapat dipetik dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Panji Firman
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya