Way Kambas, Permata di Ujung Selatan Sumatera

Menelusuri keindahan pulau Sumatera, tentu saja kita wajib untuk menyebut Lampung sebagai salah satu kekuatan di ujung selatan pulau ini. Propinsi yang baru saja mengganti selokanya dari ‘Sang Bumi Ruwa Jurai’ menjadi ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ pada tahun 2009 yang lalu ini dapat dikatakan sebagai salah satu harta berharga bagi Indonesia.

Lampung memiliki tidak kurang dari empat komoditas ekspor skala internasional, sebut saja ; Ubi Kayu, Udang, Kopi Robusta dan Nanas Kaleng. Untuk komoditas Ubi Kayu dan Udang, dua-duanya menempati posisi pertama sebagai komoditas ekspor terbesar ke negara tujuannya. Sedangkan sisanya sama-sama menempati posisi tiga besar. Prestasi ini belum termasuk peranan Lampung sebagai pemasok utama untuk kebutuhan skala nasional. Di samping hasil buminya, propinsi Lampung pun memiliki peranan yang cukup penting dalam bidang pariwisata.
Keindahan pantai-pantai di Lampung sama sekali tidak kalah dengan keindahan maritim di timur Indonesia. Ini pun belum terhitung dengan kecantikan terumbu karang serta cagar alam legendaris, “anak Krakatau”. Selain itu, propinsi ini pun memiliki peranan penting dalam bidang konservasi alam. Tercatat tidak kurang dari tiga buah pusat konservasi yang terletak di Bumi Ruwa Jurai ini, yaitu, Taman Ekowisata Gunung Betung, Taman Ekowisata Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas. Di antara ketiganya, Taman Nasional Way Kambas adalah yang tertua dan yang paling populer.
Taman Nasional Way Kambas ini berada di kecamatan Labuhan Ratu, kabupaten Lampung Timur. Adalah pemerintah Belanda yang membangun daerah ini sebagai pusat konservasi lingkungan hidup pada tahun 1937 silam. Wilayah ini kemudian berkembang menjadi sekolah gajah pertama di Indonesia dengan nama PLG — Pusat Latihan Gajahyang diresmikan oleh pemerintah R.I pada tahun 1985. Seiring waktu, TNWK selanjutnya lebih memusatkan kegiatannya pada bentuk konservasi, khususnya untuk gajah SumatraElephas maximus sumatranus yang merupakan salah satu sub-spesies gajah asia. Hal ini diikuti dengan berubahnya PLG menjadi PKG — Pusat Konservasi Gajah.
Berbagai macam bentuk fasilitas dan infrastruktur pun dibangun untuk mendukung kegiatan konservasi tersebut, bahkan untuk sekarang ini, TNWK tercatat sebagai pemilik rumah sakit gajahterbesar se-Asia. Sebagai sebuah pusat konservasi, tentu saja, TN Way Kambas harus menjaga dan melestarikan segala macam spesies yang ada di dalamnya untuk menjaga keberlangsungan habitat dari gajah sumatra itu sendiri. Sebagai hasilnya, TNWK, sekarang ini berperan pula sebagai rumah bagi bermacam-macam flora yang luar biasa indahnya, antara lain ; Api-api — Avicennia marina, Cemara Laut — Casuarina equisetifolia,Gelam — Melaleuca leucandendron, Ketapang — Terminalia cattapa, Meranti — Shorea sp, Minyak — Dipterocarpus gracilis, Nipah — Nypa fruticans, Pandan — Pandanus sp, Pidada –Sonnetaria sp, Puspa — Schima wallichii, Ramin — Gonystylus bancanus, Rawang –Glochidion borneensis, Salam — Syzygium polyanthum.
Selain gajah sumatra, TN Way Kambas ini pun berperan sebagai pusat konservasi untuk hewan-hewan eksotik lainnya, seperti Badak Sumatra — Dhicerorhinus sumatrensis, Harimau Sumatra — Phantera tigris sumatrae, Mentok Rimba — Cairina scutulata, Buaya Sepit — Tomistoma schlegelii, Bangau Tongtong — Leptotilos javanicus, Sempidan Biru –Lophura ignita ignita, Kuau Raja — Argusianus argus, burung Pependang Timur — Anhinga melanogaster dan lain sebagainya. Meskipun demikian, di TNWK ini hanya gajah dan badak sumatra saja yang lebih banyak diberikan perhatian. Hal ini juga terkait dengan ditetapkannya badak sumatra sebagai spesies yang kritis terancam kepunahan — critically endangered oleh IUCN –International Union for Conservation of Nature pada tahun 2006 yang lalu. Badak sumatra bersama Badak jawa sebenarnya termasuk ke dalam dua dari lima spesies badak yang tersisa di dunia.
Di samping itu, karakter dan sifatnya yang memang berbeda jauh dengan gajah membuat proses konservasi terhadap hewan ini memang membutuhkan perhatian yang lebih. Badak adalah jenis hewan yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Faktor ini pula yang membuat proses konservasinya tergolong cukup sulit. Hal ini bertolak belakang dengan gajah yang memang memiliki sejarah kedekatan dengan manusia. Pada satu periode lampau, gajah memiliki peranan yang hampir mirip dengan kuda atau kerbau dalam kebudayaan manusia. Gajah dapat dilatih untuk berbagai keperluan manusia dalam aktivitas kesehariannya, seperti untuk keperluan militer sebagai tunggangan atau kendaraan logistik, untuk keperluan seremonial keagamaan dan budaya hingga membantu dalam aktifitas seperti mengangkat beban atau membajak sawah. Dengan hubungan seperti ini, manusia sebenarnya cukup memiliki pengalaman untuk melakukan proses konservasi terhadap gajah.
Konservasi terhadap spesies badak ini sebenarnya sudah dimulai sejak 128 tahun silam. Namun karena tingkat kesulitan yang tinggi, maka proses konservasinya memang membutuhkan waktu yang sangat panjang. TN Way Kambas sendiri menyediakan tidak kurang dari 100 hektar luas wilayah yang dikelilingi pagar kawat setinggi 1.5 meter untuk kegiatan yang diberi nama SRS — Suaka Rhino Sumatra. Hingga hari ini tercatat ada tujuh anggota badak yang tinggal di TN Way Kambas. Sejauh ini SRS mencatat prestasi yang cukup baik dengan lahirnya seekor bayi badak di tahun 2016 ini. Dengan catatan baik tersebut SRS Way Kambas nantinya akan menjadi role model atau referensi bagi JRSA — Javan Rhino Study Conservation Area yang bertugas dalam proses konservasi Badak jawa — Rhinoceros sondaicus di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Propinsi Banten.
Sebagai sebuah pusat konservasi dengan beragam jenis spesies di dalamnya, tentu saja banyak sekali cerita-cerita unik yang dialami oleh para anggota tim TN Way Kambas. Di antara berbagai kisah tersebut, ada salah satu kisah unik yang terjadi sekitar tahun 2013 silam. Dilansir dari salah satu media lokal, dikabarkan bahwa beberapa orang dari polisi hutan TN Way Kambas yang sedang berpatroli bertemu dengan segerombol sosok aneh di sekitar hutan rawa di sana. Berdasarkan penggambaran mereka, sosok-sosok tersebut menyerupai manusia dengan tinggi badan kurang lebih lima puluh sentimeter saja. Berambut gimbal, bahkan ada yang panjangnya hingga sepinggul.
Mereka berjalan menyusuri rawa-rawa dengan membawa semacam tombak kayu dan tanpa menggunakan sehelai pun penutup tubuh. Setidaknya ada lima belas sosok yang sempat terlihat oleh petugas tersebut. Dan menurut penuturan mereka, ada salah satu dari sosok tersebut yang sedang menggendong bayi. Ketika para petugas itu mencoba mendekat, sontak sekelompok sosok tersebut langsung bergeak dengan cepat, menghilang ke balik pepohonan. Sosok-sosok ini sebenarnya cukup familiar bagi masyarakat Sumatra, setidaknya banyak kisah, baik itu mitos atau legenda yang mengisahkan tentang sosok yang umumnya disebut sebagai ‘Orang Pendek’ atau ‘Orang Kerdil’ ini.
Keberadaan spesies ini memang nyata adanya, mereka bukanlah sosok mistis atau gaib. Berdasarkan dari banyak sumber, baik itu penelitian, pengalaman pribadi atau kisah-kisah lokal, disebutkan bahwa ‘Manusia Kerdil’ ini memiliki habitat yang tersebar di beberapa titik di Nusantara, diantaranya, Wiliayah Kerinci Seblat, Sumatra Barat, Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur dan di daerah Bone, Sulawesi Selatan. Penyebutan sosok ini pun berbeda-beda di setiap wilayah, misalnya ‘Orang Pendek’ di daerah Kerinci, ‘Ebu Gogo’ di Flores dan ‘Suku Oni’ di daerah Bone. Penggambarannya tentang sosok ini di setiap daerah pun hampir mirip.
Sosok ini dideskripsikan kerdil dengan tinggi antara 50–100 cm, gerakannya lincah, larinya cepat dan lompatannya jauh serta yang menjadi ciri khasnya adalah telapak kaki yang terbalik menghadap ke belakang. Bahkan dikisahkan pula bahwa mereka memiliki kemampuancraftmanship yang tinggi dalam membuat perlengkapan sehari-hari seperti peralatan makan dan furnitur. Ada beberapa kisah, seperti di Sumatra dan Bone, bahwa pada zaman dahulu, para manusia kerdil ini akan meminjamkan peralatan yang mereka buat, seperti piring, mangkuk dan sebagainya, ketika ada warga desa yang sedang menyelenggarakan pernikahan.
Dalam perjalanannya, dapat dikatakan TN Way Kambas ini tidak bebas hambatan. Sebagai sebuah ruang yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi, tidak berlebihan jika kemudian banyak terjadi konflik kepentingan di dalamnya. Untuk skala daerah, Way Kambas yang telah dinobatkan menjadi ikon kabupaten Lampung Timur ini memiliki potensi wisata yang amat tinggi. Artinya, daerah ini akan menjadi daya tarik untuk investor-investor baik dari dalam negeri maupun mancanegara untuk menanamkan modalnya. Sudah barang tentu, hasilnya akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung pada PAD — Pendapatan Asli Daerah. Secara positif, hal ini bukan hanya meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga pada taraf hidup masyarakat lokal. Sedangkan di sisi lainnya.
TN Way Kambas pun masih bermasalah dengan masyarakat sekitar. Pelanggaran-pelanggaran seperti penebangan liar, pemancingan liar, pencurian getah meranti, perburuan liar, bahkan hingga pemukiman liar memang menjadi masalah bagi yang tak henti-hentinya usai. Hal ini pun sebenarnya bukanlah hal yang sederhana. Pengelola Way Kambas berpegang pada aturan pemerintah yang sudah ditetapkan, di sisi lain, masyarakat pun merasa berhak atas tanah Way Kambas dan isinya dengan berpegang pada aturan adat yang memang sudah berjalan amat sangat lama. Jika dilihat lebih jauh, berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh motif ekonomi juga. Artinya, taraf hidup mereka sangat rendah, dan apa yang dilakukannya semata-mata untuk bertahan hidup. Hal ini pun tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah yang belum bisa menaikkan taraf hidup masyarakatnya. Di sisi yang lain lagi, tentu saja pengelola TN Way Kambas harus berpegang teguh pada tujuan asasinya, yaitu sebagai pusat konservasi alam dan lingkungan.
Tidak mudah memang untuk menyelesaikan berbagai konflik kepentingan yang saling beririsan tersebut. Karena masing-masing pihak memang sangat berkepentingan terhadap Way Kambas. Di satu sisi, masing-masing pihak yang berkonflik ini sebenarnya pun sama-sama membutuhkan satu sama lain untuk mewujudkan kepentingannya. Tentu saja, untuk mencapai satu kata sepakat, dibutuhkan semua pihak untuk duduk dan berbincang serta menyelesaikan berbagai masalah tersebut bersama-sama. Karena Way Kambas ini bukan hanya milik warga lokal saja, tetapi juga milik semua warga negeri ini dan merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Untuk itulah mengapa ruang konservasi ini diberi nama “Taman Nasional” Way Kambas.
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya

Desa Pejeng, Desa Purba di Bali

Sejak zaman dahulu kala, Negara kepulauan Indonesia sudah terkenal dengan kekayaan alamnya. Tidak sedikit bangsa-bangsa besar yang ingin menguasai kepulauan yang terletak tepat di garis

Read More »