Senja itu terbungkus selimut jingga, berhias motif awan berbagai bentuk berwana kelabu kebiru-biruan. Bersanding dengannya, riak samudera yang tampak tenang. Setenang udara yang berhembus kala itu. Riuh suara manusia berbincang dalam berbagai bahasa mengawali pertunjukkan sore itu. Matahari sedang dalam perjalanan menuju lelapnya ketika puluhan lelaki dengan busana khas, mulai memasuki pelataran panggung.

Mereka kemudian duduk membentuk lingkaran di tengah arena yang tingginya tidak lebih dari tempat duduk para penonton yang hadir di sana. Tak lama kemudian, masuk seorang pria dengan pakaian putih-putih yang membawa semacam peralatan upacara. Pria itu berjalan perlahan menuju kumpulan pria tadi dan kemudian merapalkan doa-doa atau mantra-mantra. Kumpulan pria-pria itu pun melakukan gerakan yang seolah-olah mengamini apa yang dirapalkan oleh pria berbaju putih tadi. Tak lama setelah pria berbaju putih meninggalkan panggung, terdengarlah perpaduan suara-suara yang muncul. “Cak…Cak…Cak…” Sebuah harmonisasi bunyi yang mistis, gaib namun sekaligus luar biasa cantik dan indah.
Tari Kecak atau “Kecak Fire Dance,” begitulah orang-orang menyebutnya. Sebagai sebuah pertunjukkan, Kecak sangatlah populer. Hampir semua orang mengenal tarian ini, meskipun tidak semuanya pernah berkesempatan menyaksikannya. Sebagai sebuah seni tradisi, tari Kecak yang anggota penarinya didominasi oleh para pria ini sebenarnya masih tergolong baru. Tarian ini lahir pada tahun 1930 di desa Bona, Bedulu, kabupaten Gianyar, Bali. Tari ini lahir dari sebuah kolaborasi yang luar biasa menarik, dari seorang seniman Bali, I Wayan Limbak dan seorang pelukis Jerman, Walter Spies. Salah satu hal yang membuatnya menarik adalah bahwa Kecak lahir dari proses modifikasi sebuah tarian sakral Bali yang bernama tarian Sanghyang. Pada mulanya, tarian sakral ini selalu dipentaskan sekali dalam setahun di Pura Goa Gajah. Tarian ini merupakan salah satu bagian dari upacara keagamaan yang dipercaya memiliki fungsi sebagai penolak bala dan mengusir wabah penyakit yang sedang menjangkiti suatu daerah. Dari tarian inilah kemudian dua orang seniman lintas bangsa tersebut secara kreatif melakukan proses modifikasi. Awal mula perubahan yang mereka lakukan adalah dengan menyisipkan salah satu bagian dari wiracarita Ramayana ke dalam tarian sakral tersebut. Pada saat itu, cerita yang disisipkan adalah adegan pertempuran antara Subali dan Sugriwa — dua orang kakak beradik penguasa Gua Kiskenda. Ada juga yang menyebutkan bahwa cerita yang pertama kali disisipkan adalah adegan penculikan Dewi Sita oleh Rahwana, raja Alengka.
Di tangan Limbak dan Spies, Kecak menjadi suatu pertunjukkan yang memiliki daya jelajah yang sangat luas. Tari Kecak mulai berkembang dari tempat kelahirannya di desa Bona ke tempat-tempat lainnya di seluruh Bali. Perkembangannya itu pun diikuti dengan munculnya kelompok-kelompok tari Kecak yang baru, di mana para anggotanya berasal dari banjar-banjar setempat. Di daerah lain, banjar merupakan status wilayah yang setara dengan dusun atau Rukun Wilayah. Seiring dengan perkembangannya, tari Kecak pun mengalami beberapa perubahan signifikan, antara lain adalah bertambahnya sisipan cerita yang mulanya hanya satu bagian saja, menjadi seluruh bagian dari wiracarita Ramayana. Dengan kemajuannya yang sangat pesat itu, hasil karya Wayan Limbak dan Spies itu akhirnya mendapat pengakuan yang luar biasa. Di tahun 1970, tari Kecak dinobatkan sebagai salah satu ikon budaya Bali. Prestasi itu pun terus berlanjut, ketika sembilan tahun kemudian, tarian ini memecahkan rekor sebagai pertunjukkan dengan anggota penari terbanyak yang melibatkan tidak kurang dari lima ribu orang penari.

Sebagai sebuah seni tari, Kecak sebenarnya cukup unik, gerakan yang ada dalam seni pertunjukkan ini sangatlah sederhana. Kekuatannya lebih banyak dititikberatkan pada perpaduan suara para pemainnya, jalan cerita dan jumlah pemain yang tidak terbatas. Meskipun demikian, bukan berarti kesederhanaannya tidak bermakna apa-apa. Gerakan tangan para penari yang mendominasi tarian ini sebenarnya merupakan representasi dari wiracarita Ramayana, tepatnya pada bagian penculikan Dewi Sita oleh Rahwana. Selain itu, tari Kecak ini pun tidak banyak menggunakan instrumen musik dan peralatan tari. Beberapa perlengkapan yang banyak digunakan dalam tarian Kecak hanyalah ; selendang tari dan gelang kincringan yang dipakai di tangan dan kaki beberapa penari — digunakan oleh pemain yang khusus memerankan tokoh-tokoh dalam wiracarita Ramayana, Topeng yang digunakan oleh penari yang memerankan tokoh Hanuman, Sugriwa dan Rahwana, dan tempat sesaji — biasanya diletakkan di tengah-tengah panggung.
Tari Kecak dilakukan mayoritas oleh pemain pria yang berjumlah tidak terbatas. Mereka duduk melingkar sembari mengucapkan kata-kata ; Cak yang diulang-ulang secara serentak. Harmonisasi suara yang muncul dari pengucapan kata ‘Cak’ tersebut menjadi inti dari keindahan tarian ini. Hal itu jualah yang kemudian menjadi dasar penamaan tarian ini menjadi tari ‘Kecak’. Selain itu, fungsi lain dari perpaduan suara tersebut adalah sebagai musik pengiring utama dari tarian ini. Tentu saja untuk menghasilkan sebuah harmonisasi yang indah diperlukan suatu keteraturan dan organisasi dari unsur-unsur di dalamnya, begitu pun dengan tari Kecak. Bagai sebuah orkestra, para anggota ‘Cak’ yang bertugas menghasilkan harmonisasi bunyi secara akapela ini pun memiliki pembagian tugas. Kelompok ‘Cak’ ini membutuhkan empat orang sebagai dirijen kelompok dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda. Orang pertama, berperan sebagai pemimpin kelompok dan bertugas sebagai pemberi nada awal. Kedua bertugas untuk memberikan tekanan pada nada tinggi dan rendah. Orang ketiga bertugas sebagai penembang solo. Dan orang ke-empat bertugas sebagai ‘Ki Dalang’ yang mengantar dan mengatur alur cerita. Sementara yang lainnya menjadi anggota yang harus tunduk pada arahan pemimpinnya.
Dari segi jalinan cerita, tari Kecak terbagi menjadi lima bagian. Babak pertama, menceritakan kedatangan Sri Rama, Dewi Sita serta Laksmana ke hutan Dandaka, pertemuan antara Dewi Sita dan Kijang Emas dan penculikan Dewi Sita oleh Rahwana. Kedua, menggambarkan kondisi Dewi Sita di kerajaan Alengka milik Rahwana, pertemuan antara Dewi Sita dan Hanuman serta adegan Hanuman ketika memporak-porandakan kerajaan Alengka. Ketiga, menceritakan kedatangan Sri Rama ke Alengka, kekalahan Rama dari Rahwana, dan kedatangan Garuda sebagai bantuan dari para dewa. Babak yang ke-empat, menceritakan kemenangan Sugriwa atas Megananda. Dan Babak kelima dan terakhir menceritakan kemenangan Sri Rama atas Rahwana.
