Pengaruh kuat Marvel dan DC tampak jelas pada template desain para tokoh superhero Indonesia ketika itu. Meskipun demikian, bukan berarti superhero Indonesia tidak memiliki karakternya sendiri.
Bagi para penggila komik atau cerita bergambar – CerGam dan film superhero, beberapa hari ke depan adalah waktu yang sangat dinantikan. Apalagi kalau bukan film superhero teranyar MCU – Marvel Cinematik Universe, “Avengers: Infinity War.” Demam superhero ini memang sudah menjalar jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan, trend film asal Amerika ini pun sudah mulai menjalar ke dunia perfilman nasional. Kabarnya salah satu superhero Indonesia pun akan diangkat ke layar lebar. Hal ini tentu saja layak untuk dinantikan.
Pengaruh genre komik superhero Amerika sebenarnya sudah masuk ke Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu. Pengaruh itu masuk seiring dengan perkembangan komik di Indonesia. Dalam pengantar kuratorial pameran “Dunia Komik, Gudang Garam Indonesia Art Award 2018,” Iwan Gunawan mengatakan bahwa “Hang Tuah” adalah kisah kepahlawanan pertama yang diangkat dalam bentuk CerGam. Karya yang dibuat oleh Nasjah Djamin – seorang sastrawan yang juga merupakan seorang perupa itu diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951.
Pada tahun 2001, CerGam ini diangkat kembali dan diterjemahkan ke bahasa Belanda dalam bentuk buku oleh penerbit Bulaaq, Amsterdam. Kisah kepahlawanan “Hang Tuah” yang berasal dari cerita rakyat Melayu itu dipandang sebagai embrio genre superhero pada CerGam Indonesia. Pada konteks sejarah, posisi “Hang Tuah” dapat disetarakan dengan tokoh “Robin Hood.” Tokoh yang merupakan sosok pahlawan dalam kebudayaan oksidental.

Di kemudian hari, seiring dengan menguatnya pengaruh komik superhero Amerika di tanah air. Tema-tema kepahlawanan pada CerGam-CerGam nasional pun menjadi sangat beragam. Para penggila CerGam pada saat itu, dimanjakan oleh genre silat dengan tokoh-tokoh seperti “Pandji Tengkorak,” “Walet Merah” (Hans Jaladara), “Jaka Sembung,” “Bajing Ireng” (Djair Warni), atau “Si Buta dari Goa Hantu” (Ganesh Th). Ada pula genre Petualangan rimba yang diadaptasi dari kisah “Tarzan.”
Selanjutnya kisah kepahlawanan dari adaptasi dunia pewayangan yang digawangi oleh tokoh-tokoh legenda CerGam Indonesia seperti R.A Kosasih dan Jan Mintaraga pun turut menghiasi ramainya industri Komik pada masa itu.
Sementara itu, meskipun sama-sama mengangkat tema kepahlawanan, namun genre superhero pada CerGam lokal ini tampil berbeda. Karakternya benar-benar menyesuaikan dengan definisi khas Amerika. Menurut kamus Merriam-Webster, superhero atau juga ditulis dalam bentuk super-hero atau super hero diartikan sebagai “pahlawan fiksi yang memiliki kekuatan luar biasa di atas rata-rata manusia biasa.”
Selain definisi ini, limitasi lain pada genre ini terletak pada persoalan topeng dan kostum atau pakaian khusus yang dikenakan oleh si karakter utama dalam melakukan aksinya. Dari segi cerita, genre ini biasanya memiliki lawan yang juga memiliki kekuatan supranatural – sering disebut sebagai supervillains. Merujuk pada karakterisasi seperti itu, maka kemudian “Sri Asih” dan “Siti Gahara” karya R.A Kosasih di tahun 1950an dapat dikatakan sebagai superhero Indonesia generasi pertama.
Di masa awal-awal kelahirannya di Indonesia, CerGam dengan genre komik superhero ternyata sempat dihantam habis-habisan. Seiring dengan situasi kondisi politik nasional ketika itu, CerGam dengan genre ini dipandang kebarat-baratan dan tidak mencerminkan budaya nusantara.
Meskipun demikian, pengolahan genre tersebut tidak berhenti dan habis begitu saja. Terbukti di tahun 60an, Penerbitan CerGam di kota Medan membuat suatu terobosan, mereka menelurkan CerGam dengan tokoh-tokoh seperti “Kapten Halilintar” dan “Indra Pangeran Ajaib.”
Di akhir tahun 60an menjelang 70an, penjelajahan dan pengolahan genre itu semakin kuat dan intens. Bahkan pergerakan CerGam yang tadinya terkonsentrasi di kota-kota seperti Jakarta, Bandung dan Medan, justru semakin merambah hingga ke kota Jogjakarta. Pada masa ini lahir tokoh-tokoh seperti “Putri Bintang” (John Lo), “Macam Kumbang” (Kus Bramiana), Kawah Hijau (Cancer), Aquanus dan Godam (Wid N.S) dan yang cukup menjadi pusat perhatian pada masa itu adalah “Gundala Putra Petir” karya Hasmi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, para superhero Indonesia memang dipengaruhi secara kuat oleh gaya Amerika, terutama dari studio DC dan Marvel. Masih dalam pengantar kuratorial Gudang Garam Indonesia Art Award 2018, Iwan Gunawan, mengungkapkan bahwa pengaruh kuat Marvel dan DC tampak jelas pada template desain para tokoh superhero Indonesia ketika itu. Meskipun demikian, bukan berarti superhero Indonesia tidak memiliki karakternya sendiri. “Gundala” dan “Godam” adalah dua diantaranya.
Dua tokoh itu dikisahkan dengan latar belakang kota Jogjakarta. Dialog-dialognya pun merepresentasikan kehidupan sehari-hari kota itu. Penggunaan latar semacam itu tampaknya membuat CerGam Gundala cukup sukses di pasaran. Terbukti kemudian tokoh “Gundala” diangkat ke layar lebar di sekitar tahun 80an.
Hal lain yang muncul sebagai pembeda antara superhero Indonesia dan Amerika adalah pada asal-mula kekuatan yang mereka dapatkan. Studio-studio seperti Marvel dan DC cenderung menggunakan aspek-aspek sains dan teknologi di dalam cerita-ceritanya. Sehingga aroma Science Fiction – Sains Fiksi begitu kuat menghiasi cerita-ceritanya. Aspek ini membuat seolah-olah kemunculan kekuatan pada karakter pahlawan ciptaan mereka tampak begitu logis dan jelas.
Sementara itu, para komikus lokal cenderung menggunakan aspek mistis pada tokoh-tokoh pahlawan super rekaan mereka. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari perbedaan keadaan dan latar belakang Indonesia dan Amerika dalam hal kemajuan sains dan teknologi. Indonesia yang belum mencapai titik itu, pada akhirnya membuat para komikus lebih banyak menggunakan pendekatan mistis dibanding ilmiah pada cerita-cerita mereka.

2 Responses
Sekarang sudah ada Reon comic yang banyak hero lokal Indonesia dan bagus bagus
Iya kak, perlu dipromosikan lagi hero-hero indoneisa.