Gajah Dalam Kosmologi Nusantara Bagian I: Kosmologi Hindu

poster gajah dalam hindu

Memperhatikan dunia fauna memang dapat menjadi hiburan tersendiri, bahkan seringkali tingkah polah hewan-hewan tersebut memancing gelak tawa. Dalam sebuah kesempatan, saya dan kawan-kawan pernah mencoba berkhayal, apa jadinya kalau gajah yang merupakan mamalia terbesar di darat adalah karnivora?

Untuk mendapatkan jawabannya, lebih baik anda pun harus ikut mencoba untuk mengkhayalkannya. Pastinya hal-hal yang muncul dari khayalan tersebut bagi kami sangat mengerikan. Selepas dari berkhayal, saya dan kawan-kawan kemudian bersyukur kepada Tuhan, karena telah menciptakan gajah sebagai hewan herbivora.
Membicarakan gajah sebagai subyek dalam sebuah karya tulis sebenarnya merupakan hal yang menarik – setidaknya menurut saya. Di antara berbagai hewan, gajah adalah hewan yang nyaris selalu muncul dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Di dunia ini, hewan yang merupakan famili Elephantidae tersebut hanya tinggal tersisa dua jenis saja, yaitu ; Gajah Afrika – Loxodanta africana, spesies gajah terbesar di dunia dan Gajah Asia – Elephas maximus. Dari genus Loxodanta, terdapat dua subspesies ; Loxodanta Africana – Gajah Afrika yang hidup di daerah-daerah sabana, dan Loxodanta cyclotis – Gajah Afrika yang hidup di hutan-hutan Afrika.
Berbeda dengan saudaranya yang mudah ditemukan di berbagai negara di benua Afrika. Distribusi atau penyebaran Gajah Asia justru hanya di beberapa negara Asia saja. Antara lain; sebagian Asia Barat, pesisir Iran, China, Bhutan, India, Sebagian Nepal, Bhurma, Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, Indonesia, dan Malaysia. Gajah Asia pun terbagi lagi menjadi beberapa subspecies; Elephas maximus indicus – Gajah India, gajah dengan populasi terbesar di Asia, Elephas maximus maximus – subspecies gajah yang dikenal sebagai Gajah Sri Lanka. Subspecies ini memiliki ukuran tubuh yang paling besar di antara gajah-gajah Asia lainnya. Elephas maximus hirsutus – subspecies gajah yang ditemukan di Malaysia, Elephas maximus sumatranensis­ – dikenal sebagai gajah Sumatera dan Elephas maximus borneensis – subspecies gajah yang baru ditemukan beberapa tahun belakangan ini, gajah ini merupakan gajah terkecil di dunia, dikenal dengan nama Gajah Pygmy atau kerdil, ditemukan di perbatasan antara Kalimantan Timur dan Malaysia. Meskipun para peneliti telah membagi gajah menjadi dua spesies dan beberapa subspesies, tenyata semua gajah di dunia dianggap memiliki beberapa kesamaan. Selain sebagai mamalia terbesar di darat, gajah pun digolongkan sebagai hewan tercerdas di dunia.
Kecerdasan gajah dapat dibuktikan oleh ketajaman indra yang dimilikinya. Selain memiliki indra penglihatan, penciuman serta pendengaran yang tajam, gajah pun memiliki memori yang sangat kuat.  Terbukti dari tulang tengkorak yang kuat, besar dan kokoh, sebagai pelindung otak yang memiliki volume besar, bahkan terbesar di antara hewan-hewan lainnya. Gajah mampu mengingat jarak tempuh perjalanan yang dilaluinya, biasanya satu kelompok gajah memiliki wilayah jelajah – home range sekitar 32.4 km – 166.9 km.
Selain itu, gajah yang hidup secara berkelompok – gregarious dapat mengenali dan mengingat masing-masing anggota kelompoknya – satu kelompok gajah dapat berjumlah 3-23 atau 20-35 ekor serta dapat mengingat panggilan masing-masing anggota kelompoknya tersebut. Ketika saling berjauhan, gajah dapat memanggil anggota kelompoknya yang lain dengan suara yang dihasilkan dari mulut atau belalainya, bahkan dengan hentakan kakinya ke tanah. Jarak komunikasi antara gajah yang satu dengan yang lainnya ini dapat mencapai hingga 10 km lebih. Di samping kemampuannya yang istimewa tersebut, gajah pun memiliki psikologis yang mirip sekali dengan manusia, mereka dapat merasa senang, sedih ataupun marah.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimilikinya tersebut, tak heran jika gajah kemudian seringkali muncul dalam sejarah peradaban manusia. Tercatat beberapa bangsa di dunia terutama Asia ternyata memiliki hubungan yang erat dengan sosok gajah ini, tentu saja dalam konteks kebudayaan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kebudayaan Nusantara pun memiliki hubungan yang erat dengan sosok mamalia terbesar ini? Sebagai salah satu wilayah persebaran gajah di dunia, tentu saja, Indonesia memiliki hubungan erat dengan gajah. Namun hubungan yang seperti apa? Dalam tulisan ini saya coba membatasi penjelasan tentang hubungan tersebut dalam tiga konsepsi saja.

Gajah dalam konsepsi Hindu-Buddha

Jika berbicara tentang konsepsi relijius dalam perjalanan sejarah Nusantara, maka di antara lima agama besar yang dianut oleh republik ini, Hindu-Buddha adalah yang tertua. Dari beberapa sumber, tercatat kepercayaan Hindu-Buddha masuk ke Nusantara sekitar abad ke-4 Masehi. Dalam konsepsi Hindu-Buddha, gajah muncul dalam perwujudannya sebagai sosok mitologi, salah satu di antaranya yang paling banyak dikenal adalah sosok dewa Ganesha.

Ganesha

mitos gajah dalam hindu
Mitos gajah dalam hindu: Ilustrasi Ganesha dalam wayang kulit
Dalam mitologi Hindu, Ganesha merupakan salah satu dewa yang banyak dipuja. Ia adalah putra dari Bhatara Siwa dan dewi Parwati. Ganesha adalah salah satu dewa yang berwujud antromorphis – setengah manusia, setengah hewan. Ia berkepala gajah namun berbadan manusia – dari wujud fisiknya ini, ia seringkali disebut dengan nama Gajanama. Ganesha Memiliki empat buah tangan (catur biuja). Masing-masing tangannya membawa artefak-artefak berbeda yang menyimbolkan aspek-aspek kedewaannya. Selain dari Catur Biuja aspek-aspek kedewaan Bhatara Gana ini terlihat dari mahkota dengan simbol tengkorak di atas bulan sabit – Ardhacandrakapala serta trinetra – mata ketiga yang terletak di dahinya. Kedua ciri-ciri tersebut merupakan aspek-aspek ke-Siwa-an yang ada pada wujud Ganesha, aspek-aspek itu pula yang menandakan bahwa Bhatara Gana adalah putra Siwa – salah satu dewa utama bersama Wisnu dan Brahma dalam konsepsi agama Hindu. Dalam beberapa perwujudan Ganesha dalam bentuk arca, seringkali ditemukan ada aspek kedewaannya yang lain, yaitu, Sirascakralingkaran dewa di belakang kepala.
Dalam konsepsi Hindu, Ganesha dipuja sebagai dewa keselamatan serta penolak bala atau bahaya. Pada aspek ini, perwujudan Ganesha sebagai arca banyak sekali ditemukan di berbagai tempat, seperti pinggir sungai, jurang dan tempat-tempat lainnya yang dianggap berbahaya oleh masyarakat Hindu. Selain dipuja sebagai dewa penolak Bala, putra Siwa ini pun dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, perdamaian serta kesenian.
Pada masa sekarang ini, arca Ganesha banyak ditemukan pada bangunan-bangunan candi yang bercorak Hindu-Siwa. Bahkan untuk beberapa temuan candi-candi baru seperti candi Kimpulan (nama yang digunakan sementara untuk candi ini). Nama diambil berdasarkan dusun tempat candi ditemukan yang baru saja ditemukan di kampus UII, Kabupaten Sleman D.I Yogyakarta arca Ganesha menjadi salah satu petunjuk yang mengindikasikan bahwa candi tersebut bercorak Hindu-Siwa. Pada suatu bangunan candi Syiwa, arca Ganesha biasanya terletak membelakangi pintu masuk bilik utama candi (candi Siwa biasanya menghadap ke arah timur atau barat). Jika pintu masuk candi menghadap ke timur, maka arca Ganesha menghadap ke barat, sebaliknya jika candi menghadap ke barat. Arca-arca lain yang biasanya ditemukan dalam sebuah candi Siwa selain arca Lingga-Yoni yang terdapat dalam bilik utama yaitu, arca Durga Mahesasurmandhini dan Rsi Agastya, yang masing-masing terletak di relung-relung yang mengapit bilik utama candi.

Gajah Airawata

Mitos gajah dalam hindu: Ilustrasi Indra menunggangi Airawata
Sosok mitologi lain yang memakai sosok gajah dalam perwujudannya adalah Gajah Airawata. Gajah ini bukan mahluk satwapurusa – mahluk setengah hewan setengah manusia. Gajah Airawata adalah wahana – media tunggang dari Bhatara Indra yang berwujud seekor gajah putih. Airawata pun kerap kali disebut sebagai pemimpin para gajah di dunia sekaligus penjaga alam semesta.
Dalam konsepsi Hindu, Airawata adalah putra dari Irawati. Ia adalah salah satu puteri dari Daksa – salah satu dari putra Brahma, banyak versi yang menyebut Daksa sebagai salah satu dewa pencipta. Dalam versi lain, Daksa pun disebut sebagai Kasyapa. Banyak versi pula yang menyebut Airawata adalah hewan mitologi yang paling terkenal di negeri Siam – Thailand, mungkin karena hewan ini pula, Thailand dijuluki sebagai negeri ”Gajah Putih”. Berbeda dengan versi India, di Thailand Airawata dikenal dengan nama Erawan. Bentuknya pun sedikit berbeda dengan versi India, dalam budaya Thailand, Airawata atau Erawan adalah hewan yang berwujud gajah putih berkepala tiga.
Jika dalam versi sebelumnya Airawata dikisahkan sebagai anak dari Irawati, maka dari versi pewayangan dikisahkan berbeda. Dalam versi ini, Airawata dikisahkan berasal dari proses kedukan Samudera Manthana. Alkisah, Garuda sedang dalam perjalanannya mencari Tirta Amerta untuk membebaskan Kasyapa, ibundanya yang sedang diperbudak oleh Kadru – ibunda para naga. Dalam proses pencariannya tersebut, Garuda diberitahu oleh para dewa untuk memotong puncak gunung Mandaragiri dan kemudian mengeduk Samudera Manthana menggunakan puncak gunung tersebut. Dengan bantuan Wisnu, maka Garuda dapat menemukan Tirta Amerta tersebut. Dalam proses pengedukan itulah, kemudian muncul sosok-sosok baru dalam konsepsi pewayangan ini, di antaranya adalah Dewi Laksmi – kelak dikenal sebagai shakti Bhatara Wisnu, Laksmi dipuja sebagai dewa kesuburan, kemakmuran, kekayaan keberuntungan, keadilan dan kebijaksanaan, Rembulan, Tirta Amerta dan Gajah Airawata itu sendiri. Versi ini pun mengatakan bahwa gajah Airawata memiliki saudara, yaitu gajah Puspadhenta yang merupakan tunggangan dari prabu Baladewa – dalam versi India dikenal dengan nama Balarama, ia adalah kakak dari Bhatara Kresna, memerintah di negara Mandura, putra dari prabu Basudewa.

Makara

Mitos Gajah dalam Hindu
Mitos gajah dalam hindu: Ilustrasi Makara
Makara adalah salah satu dari beberapa hewan mitologi Hindu yang paling banyak dijumpai di Nusantara, tentu saja dalam perwujudannya sebagai arca. Banyak versi yang menyebut Makara sebagai raksasa laut. Ia memiliki wujud yang merupakan gabungan antara tiga jenis hewan. Makara memiliki tubuh seperti buaya, berekor ikan dan berkepala gajah – lebih tepatnya memiliki belalai gajah. Hewan mitologi yang di Bali dikenal dengan nama gajaminaikan gajah ini merupakan simbol air dan kegelapan, oleh karena itu, dalam konsepsi Hindu, Makara seringkali diasosiasikan sebagai wahana dari dewa Baruna atau Varuna – dewa peguasa lautan dan samudera serta dewi Gangga – dewi penjaga sungai suci Gangga di India.
Wujud Makara dalam bentuk arca seringkali kita temui di ujung pintu masuk candi. Biasanya Makara ini dipasangkan dengan hewan mitologi lainnya, yang dikenal dengan nama Kala atau Kirtimukha – hewan yang digambarkan bermuka singa dan seringkali dipahatkan di bagian atas pintu masuk candi, ceruk-ceruk sekeliling bilik utama candi dan terkadang berada di belakang arca. Kala atau Kirtimukha ini merupakan simbol dari matahari dan penerangan. Kala dan Makara, masing-masing menyimbolkan dua aspek yang saling berlawanan, matahari – air, terang – gelap, atas – bawah. Dalam praktisnya kedua hewan ini tidak pernah dipisahkan, karena penyatuan dua hewan mitologi tersebut merupakan lambang dari harmonisasi dan keseimbangan alam semesta.
Seperti itu lah kira-kira gajah digambarkan dalam kosmologi hindu yang banyak mempengaruhi kebudayaan di Nusantaa. Lalu bagaimana dengan Islam? Kita akan membahas di artikel selanjutnya.

Artikel Selanjutnya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya

sejarah fotografi

Sejarah Fotografi Singkat

Sejarah kelahiran fotografi pada dasarnya diawali oleh dua peristiwa penemuan yang pertama adalah teknik proyeksi citraan atau imej yang disebut camera obscura dan penemuan bahan

Read More »