Basuki Abdullah dan Sudjojono memiliki jalannya masing-masing dalam membangun seni rupa Indonesia modern. Karakter dan kecenderungan yang bertolak belakang sangat menunjukkan hal itu.
Sementara itu, Affandi justru tampil sebagai penengah dari kedua figur tersebut. Jika mengandaikan Basuki Abdullah dan Sudjojono sebagai bentuk oposisi biner. Maka kedua hal oposisi itu hebatnya hadir dalam diri seorang Affandi.

Di awal-awal karirnya sebagai seniman, Affandi sempat beberapa kali membentuk kelompok dan organisasi seni. Di sekitar tahun 30an, Ia mendirikan Kelompok Lima Bandung, bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi. Kemudian ia pun sempat bergabung dengan PUTERA – Pusat Tenaga Rakyat, bersama dengan Sudjojono. Sementara, organisasi lainnya antara lain; Seniman Masjarakat, SIM – Seniman Indonesia Muda dan sempat juga bergabung dengan LEKRA – Lembaga Kesenian Rakyat.
Affandi pun sempat berkecimpung dalam bidang politik. Ia dicalonkan oleh PKI sebagai wakil dari orang-orang tak berpartai. Dan ia tergabung di dalam komisi Hak Asasi Manusia. Meskipun hanya sebentar, tetapi isu yang dibawa oleh Affandi di parlemen cukup mengejutkan saat itu. Alih-alih berbicara tentang kemanusiaan, Ia justru lebih banyak mengutarakan persoalan-persoalan lingkungan. Suatu hal yang belum menjadi perhatian pada saat itu.
Kedekatan Affandi dengan dunia organisasi dan politik mengindikasikan bahwa dirinya memiliki kesadaran yang sama dengan Sudjojono. Kesadaran tentang pentingnya manajemen kekuatan massa untuk mencapai suatu tujuan. Meskipun di suatu waktu dirinya mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang “bodoh” yang hanya tahu menggambar saja.
