Affandi dan Warisannya pada Seni Rupa Indonesia Modern

poster affandi

Basuki Abdullah dan Sudjojono memiliki jalannya masing-masing dalam membangun seni rupa Indonesia modern. Karakter dan kecenderungan yang bertolak belakang sangat menunjukkan hal itu.

Sementara itu, Affandi justru tampil sebagai penengah dari kedua figur tersebut. Jika mengandaikan Basuki Abdullah dan Sudjojono sebagai bentuk oposisi biner. Maka kedua hal oposisi itu hebatnya hadir dalam diri seorang Affandi.
affandi pelukis indonesia
Affandi pelukis indonesia
Di awal-awal karirnya sebagai seniman, Affandi sempat beberapa kali membentuk kelompok dan organisasi seni. Di sekitar tahun 30an, Ia mendirikan Kelompok Lima Bandung, bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi. Kemudian ia pun sempat bergabung dengan PUTERA – Pusat Tenaga Rakyat, bersama dengan Sudjojono. Sementara, organisasi lainnya antara lain; Seniman Masjarakat, SIM – Seniman Indonesia Muda dan sempat juga bergabung dengan LEKRA – Lembaga Kesenian Rakyat.
Affandi pun sempat berkecimpung dalam bidang politik. Ia dicalonkan oleh PKI sebagai wakil dari orang-orang tak berpartai. Dan ia tergabung di dalam komisi Hak Asasi Manusia. Meskipun hanya sebentar, tetapi isu yang dibawa oleh Affandi di parlemen cukup mengejutkan saat itu. Alih-alih berbicara tentang kemanusiaan, Ia justru lebih banyak mengutarakan persoalan-persoalan lingkungan. Suatu hal yang belum menjadi perhatian pada saat itu.
Kedekatan Affandi dengan dunia organisasi dan politik mengindikasikan bahwa dirinya memiliki kesadaran yang sama dengan Sudjojono. Kesadaran tentang pentingnya manajemen kekuatan massa untuk mencapai suatu tujuan. Meskipun di suatu waktu dirinya mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang “bodoh” yang hanya tahu menggambar saja.
affandi pelukis indonesia
Karya Affandi pelukis indonesia
Sebagai seniman, hampir semua pencapaian sudah diraihnya. Sederet prestasi dalam negeri dan internasional menghiasi karirnya yang cemerlang. Beberapa yang tertinggi antara lain; sebagai representasi Indonesia di Biennale Sao Paolo, Brazil (1953). Pada even ini, Affandi sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang tampil pada skala biennal internasional. Pada tahun 1962, ia menjadi visiting professor – guru besar kehormatan untuk program studi seni lukis di Ohio State University. Dinobatkan menjadi Grand Maestro oleh yayasan Dag Hammarskjoeld (1977). Dan meraih Bintang Jasa Utama dari presiden R.I pada tahun 1978.
Meskipun dibanjiri dengan berbagai prestasi, namun Affandi tetaplah sosok yang sederhana. Bahkan untuk status sebagai seniman dan pelukis, ia pun menolaknya. Ia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Kesederhanaan inilah yang mewarnai cara berkesenian Affandi. “Ketidakpeduliannya” akan teori-teori seni, justru membuat karya-karyanya menjadi sangat lugu dan orisinil. Garis-garisnya bukanlah cerminan teori dan akademik. Goresan-goresannya memang benar-benar merepresentasikan dirinya sendiri. Hal-hal ini membuat karya Affandi memiliki identitas dan karakter yang kuat. Yang seolah-olah tidak peduli pada apa yang terjadi di dunia seni.
Cara berkarya Affandi nyaris tiada henti. Terhitung lebih dari 2.000 karya ia hasilkan sepanjang hidupnya. Hal ini tentu saja menunjukkan suatu konsistensi luar biasa pada apa yang ia kerjakan.
Dari Affandi, seni rupa Indonesia mendapat warisan yang luar biasa. Ia menginspirasi agar para seniman-seniman muda memilili karakter dan identitas. Dan bukan hanya sekedar meniru apa yang sudah ada dan disediakan. Dan itu harus dicapai dengan eksplorasi dan konsistensi tanpa henti. Seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya.
Basuki Abdullah, Sudjojono dan Affandi memang tidak pernah duduk bersama untuk membicarakan masa depan seni rupa Indonesia (setidaknya itu yang tercatat dalam sumber sejarah). Bahkan ketiganya kerap kali dilabeli sebagai “musuh bebuyutan.” Meskipun kelak ada peristiwa penting pada tahun 1985. Di mana mereka dipersatukan oleh Ciputra dalam pameran bertajuk “Pameran Besar Tiga Warna Seni Lukis Indonesia.”
Akan tetapi, tidak dapat dinafikan bahwa ketiganya membawa “modernitas” pada seni rupa Indonesia dengan cara dan jenis berbeda-beda. Dan pada dasarnya ketiganya saling melengkapi.
Sebuah karya seni haruslah memiliki ciri, identitas dan karakter. Karya itu pun harus memiliki gagasan yang cerdas dan merepresentasikan jiwa dari senimannya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Affandi dan Sudjojono. Namun demikian, karya dan senimannya tidak akan berbicara dan bergaung lebih luas jika tidak ada dukungan dari manajemen dan sistem produksi-konsumsi yang solid. Seperti apa yang dilakukan oleh Basuki Abdullah.
Hal-hal itulah yang diwariskan oleh ketiga sosok seniman besar tersebut. Mereka meletakkan fondasi-fondasi agar para seniman Indonesia generasi selanjutnya dapat melampaui apa yang sudah mereka capai.

Sebelumnya

Sumber:

www.wikipedia.org
http://www.affandi.org/
http://archive.ivaa-online.org/
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya

Suluban Bali, Pantai Nan Biru di Bali

Melakukan perjalanan wisata ke Bali memang rasanya tidak pernah membosankan. Selalu ada hal-hal dan obyek-obyek baru yang meminta untuk dikunjungi. Rasanya keindahan dan kekayaan alam

Read More »