Tadinya saya ingin menulis soal kisah cinta Chairil Anwar. Saya pikir akan menarik jika menelusuri kisah cintanya. Puisi-puisinya yang begitu enerjik serta macho atau bisa dibilang laki banget itu, pastinya banyak membuat wanita terpikat. Larik seperti “Sedang dengan cermin aku enggan berbagi” dalam puisi berjudul Penerimaan, jika diutarakan ke seorang wanita dan ditambah sedikit bumbu rayuan, niscaya akan membuat wanita meleleh. Melankolinya Chairil seperti pada larik-larik “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”, “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar” dan “Hidup hanya menunda kekalahan”, seringkali dikutip untuk menunjukan kedalaman diri.
Memang ada nama-nama wanita yang muncul di dalam puisi Chairil. Menurut Pamusuk Ensete dalam buku Mengenal Chairil Anwar menyebutkan, wanita-wanita tersebut disebut dalam sajak dengan tiga cara. Pertam, disebut dalam baris-baris sajak, seperti nama Ida Nasution. Kedua, dijadikan judul sajak (Sumurat, Gadis Rashid, Dien Tamaela, dan Tuti). Ketiga, Sebagai persembahan sajak seperti sajak untuk Sri dan Karinah Moordjono.
Meski demikian, isi sajak tersebut tidak melulu soal asmara, contohnya saja sajak yang berjudul “Cerita buat Dien tamaela” (1946). Jika ditelusuri, kisah terciptanya sajak tersebut menunjukan bahwa Chairil memiliki imajinasi, spiritualitas dan kemanusiaan yang luar biasa.
Alkisah, Sutan Sjahrir diasingkan ke Banda Neira, Maluku oleh pemerintah Belanda selama tujuh tahun. Di sana Sjahrir mengangkat beberapa anak, salah satunya Des Alwi, yang nantinya dibawa ke Batavia (Jakarta) dan bersahabat dengan Chairil Anwar.
Chairil sendiri adalah keponakan Sjahrir. Ia tinggal di rumah Sjahrir selama di Jakarta. Chairil tidur sekamar dengan Des Alwi. Dari Des lah Chairil mengenal cerita-cerita tentang Maluku. Misalnya, tentang sakralnya phohon pala dan mitos tentang datu di sana. Des pun memperkenalkan Chairil kepada Dien Tamaela. Seorang Gadis keturunan Maluku yang tinggal di dekat rumahnya.
Chairil semakin tertarik dengan cerita datu-datu di maluku setelah mendengar cerita Dien Tamaela. Dien menjelaskan bahwa dirinya adalah keturunan datu pertama di Maluku, dari Radjawane sampai akhirnya Tamaela. Dien sendiri adalah anak dari pasangan doktor Lodjwik Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane. Ayah Dien adalah tokoh pergerakan organisasi Jong Ambon. Dari cerita-cerita dan pershabatannya tersebut, lahirlah sajak “Cerita buat Dien Tamaela”. Chairil menggubahnya sebagai kenang-kenangan persahabatan mereka.
Tak disangka-sangka, sajak tersebut menjadi salah satu sajak Chairil yang sering dibacakan, entah dalam pertunjukan pembacaan sajak atau perlomba membaca sajak. Larik “beta Pattiradjawane” menjadi sebuah mantra kuno yang kuat ketika dideklamasikan. Seolah-olah memanggil kembali kegagahan ruh datu-datu.
Jika ditarik dari cerita pembuangan Sjahrir hingga cerita DIen, Sajak “Cerita buat Dein Tamaela” adalah proses perenungan yang dalam pada diri Chairil. Dalam sajak tersebut, Chairil tidak hanya ingin menceritakan kemagisan tentang datu-datu. Di sana ada semangat serta optimisme perjuangan orang-orang Maluku yang terkandung dalam sajaknya. Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala./ Beta api di pantai. Siapa mendekat./ Tiga kali menyebut nama beta. Larik tersebut menunjukan, Maluku tak mudah untuk ditaklukkan.
Chairil dan Founding Father
Nuansa patriot yang tercermin dalam sajak-sajak Chairil tak lepas dari pergaulannya dengan sang paman. Ia pernah menjadi kurir informasi andalan Sjahrir pada masa penjajahan Jepang. Sjahrir meminta Chairil untuk menyampaikan informasi tentang kekalahan Jepang atas sekutu kepada pemuda dan mahasiswa pejuang.
Kala itu Jepang sangat memproteksi informasi yang masuk ke Indonesia. Hanya ada satu frekuensi radio Jepang yang boleh di dengar yaitu Hosso Kyoku. Sjahrir mendapatkan radio gelap dari Chairil untuk mencari informasi dari luar. Chairil membeli radio tersebut dari seorang noni belanda yang sedang kesulitan ekonomi.
Dari radio gelap yang dibeli Chairil tersebut, Informasi tentang Amerika menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki didapat. Informasi tersebut nantinya digunakan Sjahrir untuk menggerakkan semua pejuang yang berujung pada penculikan Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Di markas angkatan Pemuda Indonesia menteng 31, Jakarta (sekarang Gdeung Joang), Chairl menulis sajak yang berjudul “Malam”. Ia pun kerap ikut dalam kegiatan pemuda yang dipimpin oleh Sjahrir. Chairil sangat bangga dngan pamannya tersebut. Kendati demikian, Chairil tak pernah membuat puisi untuk Sjahrir. Nama Sjahrir hanya muncul pada sajak yang berjudul “Krawang-Beksi”. Di dalam sajak tersebut Chairil menempatkan Sjahrir sejajar dengan Soekarno dan Hatta.
…
Banyak yang mengatakan bahwa, secara fisik Chairil Anwar memang terlibat dalam pergerakan nasional. Menurut Des Alwi, Chairil melengkapi diri dengan sepucuk pistol. Ia termasuk pasukan bawah tanah di masa awal kemerdekaan Indonesia. Di masa itu Chairil, Des Alwi serta anak angkat Sjahrir lainnya kerap disebut sebagai “the Sjahrir’s Boys“. Kendati demikian, Chairil tetap memilih jalannya menjadi penyair ketimbang menjadi politikus.
Sajak yang berjudul “Persetujuan Dengan Bung Karno” jelas bukan sajak yang berisi pujian-pujian terhadap bung Karno. Sajak itu memperlihatkan gairah muda Chairil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya. Ideologi Soekarno tentang nasionalisme tidak hanya didapat Chairil dari buku-buku saja, Ia justru hadir dan turut serta dalam peristiwa perjuangan membangun indeologi tersebut. Sajak yang berjudul “Krawang-bekasi” pun, menurut Sapardi Djoko Damono, tidak ditulis Chairil dari belakang meja kerja melainkan Chairil menyaksikan sendiri peristiwa tersebut.
Sebagai penyai yang hidup di masa awal kemerdekaan Indonesia, sajak Chairil dengan tema perjuangan seperti “Diponegoro”, “Prajurut Jaga Malam”, “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan Dengan Bung Karno”, memang bukan sajak-sajak yang dipakai sebagai penyemangat perjuangan kemerdekaan kala itu. Chairil memiliki pemikiran sendiri tentang kemerdekaan. Bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, ia menyusun gagasan tentang bangsa Indonesia melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Selain itu ia pun menulis prosa yang berjudul “hoppla” berisi gagasannya tentang kemerdekaan.
Lalu bagaimana gagasan Chairil tentang Indonesia? Saya akan menjelaskannya di artikel selanjutnya.
Fariz