Pameran. Beberapa waktu yang lalu, dunia maya melalui berbagai portal berita dan media sosial sempat dibuat heboh dengan penangkapan para pelaku mural. Tajuk “Pembuat Mural “404 : Not Found” Diburu” sempat wara-wiri di berbagai laman. Persoalannya masih kabur mengapa sebenarnya para pelaku tersebut “diburu”
Kurang lebih 28 tahun yang lalu, Indonesia menyelenggarakan event seni rupa yang cukup besar dengan tajuk Biennale Seni Rupa Jakarta IX – 1993. Ketika itu, ajang ini dihadiri oleh para perupa seperti Dadang Christanto, Semsar Siahaan, Agus Suwage, Dede Eri Supria, FX Harsono, Eddie Hara dan berbagai nama perupa lainnya. Nama-nama tersebut kelak dikenal sebagai perupa-perupa papan atas Indonesia yang banyak berbicara juga di tingkat global. Biennale Seni Rupa Jakarta ke IX ini mengangkat isu-isu seputar paska modern, dengan mempertanyakan apakah abad modern akan berakhir? dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas? apakah berakhirnya modernisme akan mengacu pada sesuatu yang lebih baru?
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, ketika masyarakat Indonesia masih dilanda kebingungan tentang apa yang disebut Postmodern, ajang seni rupa ini seringkali dijadikan topik utama perbincangan, khususnya di dalam konteks seni rupa. Hal ini bisa dibaca bahwa dialektika dari para perupa dan karya-karya yang ditampilkan pada ajang tersebut memang benar-benar kaya dan menarik.
Tahun demi tahun berlalu, berbagai pameran seni rupa pun digelar dari yang mulai bertaraf lokal, nasional dan internasional. Semuanya berjalan dinamis dan menarik, hingga akhirnya pandemi menghantam dunia. Sontak segala sesuatunya sempat berhenti total. Di awal-awal masa pandemi ini saya sempat berbincang dengan sesama kawan perupa tentang apa yang sedang terjadi. Perbincangan ini diawali dengan pertanyaan, mengapa di tengah Pandemi seperti ini, tidak banyak atau bahkan tidak ada seniman yang muncul untuk merespon? Bukankah dalam berproses seni, para perupa itu butuh permasalahan untuk kemudian diangkat menjadi karya seni? Pertanyaan ini diajukan ketika dunia memang sedang berada pada kondisi yang “diam”, nyaris tidak ada aktivitas apa pun ketika itu, termasuk aktivitas para perupa yang merespon kondisi pandemi.
Perbincangan tersebut sebenarnya distimulan oleh romantisme kami terhadap para seniman perintis seperti S. Sudjodjono, Affandi, Hendra Gunawan dan kawan-kawan ketika mereka tetap produktif berkarya di tengah berbagai permasalahan dan keterbatasan. Bagi kami, setidaknya, sosok-sosok mereka di dunia seni rupa yang kami geluti sangat heroik. Dan pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah kami yang hidup dalam kondisi yang serba mudah saat ini dapat menghasilkan karya-karya yang memorable, seperti apa yang sudah dilakukan oleh mereka, para pendahulu.
Kembali pada persoalan pameran, kondisi pandemi pada akhirnya melahirkan pameran dengan jenis yang lain – pameran virtual. Tentu saja banyak sekali pertanyaan dan cibiran terkait dengan jenis pameran daring ini. Kontak langsung dan nuansa galeri yang hilang adalah hal yang paling sering terdengar, “bukan pameran rasanya jika kita tidak berhadapan langsung dengan karya-karya yang dipamerkan.” Namun apa daya memang pada saat itu, bentuk inilah yang terbaik agar tetap dapat menghidupkan dunia seni rupa yang juga sempat mati suri karena terdampak oleh pandemi.
Waktu berlalu, grafik peningkatan penderita Covid-19 pun beranjak turun, seiring vaksin yang sudah mulai ditemukan dan disempurnakan. Beberapa negara yang menunjukkan penurunan drastis pun mulai berani menggelar event-event besar termasuk pameran seni rupa. Di Indonesia sendiri baru beberapa kota yang menunjukkan grafik penurunan. Kebijakan PPKM yang turun naik sempat membuat resah masyarakat di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Hal ini memicu respon para seniman, termasuk pada seniman mural.
Beberapa waktu yang lalu, dunia maya melalui berbagai portal berita dan media sosial sempat dibuat heboh dengan penangkapan para pelaku mural. Tajuk “Pembuat Mural “404 : Not Found” Diburu” sempat wara-wiri di berbagai laman. Persoalannya masih kabur mengapa sebenarnya para pelaku tersebut “diburu” seolah-olah para perupa ini melakukan tindakan amoral yang amat sangat sehingga diburu layaknya hewan buruan. Banyak pendapat yang timbul karena peristiwa ini, ada yang membela pihak aparat dan tidak sedikit pula yang kemudian merespon dengan nyinyir dan merasa aneh dengan tindakan aparat tersebut. Terlepas dari itu semua, saya ingin kembali lagi pada masa ketika para seniman perintis, para bapak-bapak seni rupa modern kita ikut berdampingan dengan para pejuang untuk memerdekakan negara tercinta kita ini.
Pada masa itu, meskipun banyak yang tidak ikut mengangkat senjata dalam arti sebenarnya, harus kita ketahui juga bahwa mereka ikut berjuang dengan kuas dan catnya. Tidak sedikit mural yang diciptakan hanya untuk membakar semangat rakyat Indonesia agar memiliki keinginan yang sama untuk merdeka. Aksi-aksi mural yang bersifat kritis, protes dan membakar semangat banyak ditemui pada masa itu. Hal itu tentu saja mereka lakukan atas dasar cinta tanah air, cinta rakyat dan keinginan untuk hidup merdeka. Dan jika kita mau untuk sedikit duduk tenang dan berefleksi, pada dasarnya rasa cinta itu diwariskan ke setiap generasinya, bahkan hingga saat sekarang ini. Rasanya tidak ada satu pun niat dari para perupa maupun seniman di negara ini yang berniat untuk melakukan hal-hal buruk apalagi hingga pada niatan menurunkan pemerintahan yang sah. Bentuk kritik baik yang itu bersifat halus maupun kasar seharusnya dilihat sebagai bentuk cinta, bentuk sayang dan perhatian, bentuk rasa peduli terhadap sesama bangsa. Dan rasanya memang terlalu berlebihan untuk kemudian berpikir terlalu jauh terhadap karya mural tersebut. Cinta tidak hanya hadir dalam bentuk yang indah saja, terkadang cinta juga ditunjukkan oleh bentuk yang kasar, keras dan menyebalkan, apapun bentuknya itu, toh itu tetap saja sebuah bentuk cinta dan kasih sayang.
Namun jika kita kembali pada masalah pameran, mungkin, mungkin saja, apa yang terjadi pada karya mural “404 Not Found” itu karena terbatasnya ruang pamer pada saat ini, terbatasnya ruang ekspresi untuk seni, di mana ekspersi berkesenian ini jika bisa digambarkan layaknya gelombang Tsunami yang memang harus tersalurkan. Sementara kita tahu di kota-kota besar Indonesia ruang seperti ini cukup langka, ruang-ruang galeri yang ada mungkin sulit ditembus, apalagi bagi kami para perupa-perupa pemula yang malas, yang kepalanya hanya berisi kritik, kritik, kritik dan cara bagaimana untuk tetap menyambung hidup dari seni…
Panji Firman