Masalah Makan dan Solusi Budayanya

Makan
Apa yang kita lakukan ketika lapar? “makan”. Makan menjadi puncak dalam hidup. Semua orang diwajibkan minimal dua kali sehari dan idealnya tiga kali sehari agar tubuh sehat dan bisa beraktifitas seharian serta bekerja mencari uang untuk makan. Jika uang kita berlebih, kita bisa membeli baju atau kebutuhan entertain. Namun, kebutuhan makan tetap yang utama. Makan adalah aktifitas yang sangat purba (minum juga) bagi makhluk hidup di bumi ini dan terbukti ampuh melawan kematian, setidaknya memperpanjang umur manusia.
Makan menjadi pokok, menjadi sehari-hari, rutinitas. Dahulu kala katanya manusia hidup nomaden, berpindah-pindah tempat. Ketika hidup nomaden, manusia berburu untuk makan. Hasil buruan dimakan hari itu juga. Lama-kelamaan manusia mengamati apa yang ia makan dan menemukan bahwa makanan yang mereka makan bisa dikembangbiakkan. Akhirnya manusia menetap dan lahirlah tradisi bercocoktanam dan beternak. Kira-kira seperti itu singkatnya bagaimana makan bisa mempengaruhi pola hidup manusia.
Setelah memutuskan untuk menetap, manusia pun berkembang biak. Menjadi koloni-koloni di suatu daerah yang disebut masyarakat. Kemudian masyarakat ini berkembang dan membuat sistem yang didasarari oleh perenungan akal budi, gagasan-gagsan luhur tentang lingkungan sekitar, alam, keindahan, kehidupan dan kematian, serta banyak hal lain. Sistem tersebut disebut kebudayaan yang nantinya diajarkan turun-temurun sebagai panduan cara hidup di suatu masyarakat.
Pandangan Nenek Moyang terhadap Dunia
Setelah memiliki sistem kebudayaan yang ajeg, masyarakat ini nantinya disebut suku bangsa. Dan seperti yang sudah kita ketahui, negara Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda. Ada suku Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa dan seterusnya. Setipa suku bangsa ini memiliki budaya yang berbeda. Bahasa, tradisi, cara berpakaian, estetika setiap suku bangsa itu berbeda.
Namun dari banyaknya perbedaan tersebut, sebenarnya suku-suku yang ada di Indonesia memiliki persamaan cara pandang terhadap dunia. Jakob Sumardjo dalam bukunya Estetika Paradoks menjelaskan “Pandanga dunia suku-suku di Indonesia Primodial, adalah bahwa manusia, alam semesta dan Ketuhanan merupakan kesatuan”. Manusia dan alam adalah sama, hubunganya mesra. Manusia adalah anak alam. Di Raja Ampat ada dongeng tentang raja yang lahir dari telur. Manusia belajar dari alam seperti pepatah minang “Alam takambang jadi guru“.
Maka dari itu, banyak sekali tradisi, upacara dan ritual suku bangsa di Indonesia yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur pada tuhan dan trimakasih untuk alam. Di Sunda sendiri, ada doa yang diucapkan ketika panen, isinya mempersilahkan binatang-binantang untuk mengambil hasil panen dan menyisakannya.
Menanam, Menjaga, Menyimpan dan Memberi
Alam adalah yang memberikan kehidupan untuk manusia. Hubungan semacam ini sudah terjalin lama di Nusantara. Manusia mengambil untung dari alam dan juga menjaga alam. Di Jawa ada Pranatamangsa, yaitu sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian. Kalender ini tidak serta-merta hanya untuk mengambil keuntungan dari alam, melainkan juga untuk menjaga ekosistem alam itu sendiri.
Bagi masyarakat Badui, padi adalah simbol kehidupan dan tidak boleh diperjual belikan, padi ditanam satu tahun sekali. Selama 5 hingga 6 bulan masa tanam, selebihnya untuk pemulihan lahan. Padi yang telah dipanen tidak serta merta dihabiskan, namun disimpan di lumbung untuk persediaan.
Tradisi menyimpan hasil bumi banyak ditemukan di Indonesia. Di Minangkabau terdapat tiga lumbung padi di setiap rumah gadang. Lumbung tersebut dinamakan Rangkiang. Masing-masing rangkiang memiliki nama dan fungsinya yang berbeda-beda. Rangkiang Sibayau-bayau letaknya di sebelah kanan dan berfungsi untuk perdagangan dan menjamu tamu yang datang. Rangkiang Sitinjau Laut letaknya di tengah dan berfungsi untuk membantu orang yang kesusahan atau bisa dibilang berfungsi untuk bantuan sosial. Rangkiang Sidagang Lapa terletak di sebelah kiri dan berfungsi untuk kebutuhan sehari-hari pemilik rumah.
Begitulah kira-kira cara nenek moyang kita dulu memperlakukan alam dan menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Pengaruh makan terhadap manusia dan budaya mungkin tidak seperti apa yang dijelaskan di atas. Makan bukan satu-satunya yang mempengaruhi perkembangan manusia. Namun di masa manusia modern, makan terkadang menjadi persoalan dan sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, contohnya ketika masa pandemi sekarang. Permasalahan-permasalahan tersebut mungkin sudah bisa diselesaikan jika kita menggali lagi pemikirian luhur yang ada pada kebudayaan.
Fariz
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya