Arendana – Sebuah Novel

Fase 1: Nasi Bungkus? Bento!

Tidak banyak yang diketahuinya. Hamparan pemandangan asing kini telah menyapu setiap kali sepasang mata itu berkedip. Seperti yang mereka bilang, kereta ini melaju dengan kecepatan tinggi, sampai-sampai setiap yang dilewatinya berlalu begitu saja. Entah sejak kapan, pandangannya hanya tertuju pada pemandangan di luar jendela yang asing. Entah mengapa, gairah sama sekali tidak kunjung menghampiri. Sesuatu yang asing itu, artinya baru, bukan? Baru, artinya belum pernah dirasakan atau dilihat, bukan? Harusnya gairah semangat itu menggebu, melihat sesuatu yang baru. Tetapi, ia tak kunjung menyapa, gadis berkerudung abu yang gairah pandangannya seolah terenggut, jauh bersama aneka pemandangan lainnya yang ia tinggalkan di belakang laju kereta peluru itu.

Sekali lagi, ia berusaha menelisik lebih dalam semua hal asing di luar sana. Bangunan yang saling berhimpit, sempit, tapi entah mengapa terlihat tertata rapi. Kemudian, pemandangan kepadatan kota itu berganti saat laju kereta membawanya ke daerah yang lebih hijau. Deretan pegunungan dengan salju seputih kertas menyelimuti puncaknya, sedikit menarik perhatian.

Bola mata cokelatnya membulat, punggung sedikit bergerak, bahu maju. Wajahnya kini benar-benar menghadap jendela. Sebuah keindahan yang belum pernah ia saksikan seumur hidupnya. Jadi, seperti ini yang mereka lihat setiap hari? Keasingan ini menjadi sebuah kebiasaan bagi mereka. Mungkin awalnya mereka pun merasa ini hal yang asing, sama sepertinya sekarang. Asing tetapi misterius, kemudian membius. Tepat seperti saat ini, saat warna putih salju di pegunungan itu menyejukkan pandangannya.

Pelan-pelan… ya, pelan-pelan. Kepala berselimut kerudung abu itu menoleh. Seperti biasa, ia akan mendapatkan pemandangan itu. Seseorang yang sibuk dengan telepon pintarnya, mengerutkan kening, dan hanya akan menjawab, “Nanti.” Ya, begitu. Seharusnya memang seperti itu. Bukan sesuatu yang aneh lagi. Sayangnya, semua hanya terjadi dalam benaknya. Sesuatu yang tidak biasanya, kembali asing. Wajah itu menghadapnya. Tatapannya lebih dalam dari yang biasanya bisa ia temukan. Ada sedikit senyum simpul dari gurat wajah yang terlihat, entahlah, sepertinya jauh lebih dewasa dari terakhir bisa ia lihat.

Senyum simpul itu hanya sementara, berganti kerutan di kening. Ah, sama. Masih orang yang sama. Ia sangat mengenalnya. Seharusnya memang begitu, berkerut keningnya. Walau tetap saja, rasa asing sedikit menyapa. Abang ….

“Mau bento?”

Bento?

Tangan orang di sampingnya itu membuka sebuah bungkusan yang ia beli di bandara. Isinya dua buah kotak ukuran sedang dihias gambar jenis makanan yang asing dalam pandangannya, ditambah lagi rentetan huruf-huruf meliuk yang sudah pasti asing. Tanpa disadari, salah satu kotak itu sudah mendarat di pangkuannya.

“Apa ini?”

“Bento.”

“Bento itu apa?”

“Coba buka,” katanya sambil membuka kotak miliknya sendiri.

Ragu, perlahan ia mulai membuka tutup kotak yang terasa hangat itu. Asap tipis mengepul pelan saat udara menyapa isi kotak. Nasi, chicken katsu yang sudah dipotong beberapa bagian, dan semangkuk kecil acar. ‘Oh, nasi bungkus’, pikirnya. Aromanya menyeruak, membangkitkan pukulan-pukulan kecil di perutnya yang mungkin sudah dari tadi tidak berhenti. Ya, ia tidak selera makan di dalam pesawat. Aneh rasanya, harus makan di atas ketinggian ribuan kaki dari darat. Bukannya ingin makan, malah rasa mual yang muncul.

“Halal, De. Dijamin halal.” Seseorang di sampingnya mengangkat jempol tangan kanan, tak lupa alis kanannya pun terangkat.

“Iya, tahu. Di depan kotak tadi ada cap halalnya. Aku lihat.” Jawabnya datar.

“Haha, dasar!”

“Apa?” gadis itu mulai menautkan kedua alisnya.

“Coba dari tadi kamu ngobrol begini, De. Abang jadi enggak perlu khawatir, kan? Sejak kapan kamu jadi sok pendiam seperti ini, sih. Siapa yang ajarin kamu? Penasaran Abang.”

“Abang khawatir?” selidik si gadis yang kini sudah memberanikan diri menatap seseorang yang dipanggilnya ‘Abang’ itu.

“Iya. Puas? Eh, sudah jangan pasang senyum menang kayak gitu.”

“Jadi bento itu nasi bungkus ya, Bang?” tanyanya lagi tanpa memedulikan keluhan sang abang tadi.

“Ya Allah, De. Ampun pakai kebangetan ini,” sang abang menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” si gadis hanya memasang wajah polos sambil mengunyah suapan pertamanya.

“Kamu pikir berapa lama abangmu ini tinggal di Jepang? Setidaknya kamu sedikit cari tahu soal Jepang tempat para abang ini mengadu nasib.”

Kok, komplain?”

“Kamu sama sekali enggak cari tahu atau penasaran tentang Jepang?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Enggak tertarik.”

“Setidaknya sebelum akhirnya kamu ke sini, cari tahu dulu.”

“Para abang yang maksa.”

“Merasa terpaksa?”

“Setengah.”

“Setengahnya ikhlas, kan? Toh sudah sampai juga di sini.”

“Jadi, bento itu nasi bungkus?”

Astaga!

Sang abang yang mulai gemas menoyor pelan kepala gadis berkerudung abu itu. Sangat pelan, sampai hampir tidak terasa. “Cari tahu sendiri.” Ia menyerah, memilih mengalihkan fokus pada makanan di pangkuannya.

“Sudah. Nasi bungkus.”

“Istilah yang lebih keren sedikit, De. Bento sama dengan bekal makan. Di Jepang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa terbiasa bawa bekal makan dari rumah, namanya bento. Nah, bento juga ada yang dijual di tempat umum, biasanya buat mereka yang enggak sempat buat bekal dari rumah.”

“Kenapa memangnya dengan nasi bungkus, Bang? Walau kemasannya pakai kotak, sih. Sama saja.”

Sang abang hanya mendelik kesal. “Terserah.”

Si gadis tersenyum sangat samar. Sang abang sampai tidak menyadarinya karena masih belum terima kalau bento diartikan nasi bungkus. Sejak kapan bento jadi memiliki arti kurang keren seperti itu, batinnya. Kereta cepat itu melaju dengan kecepatan yang sama tapi rasanya waktu sebentar sekali. Sang abang mengatakan mereka akan turun sepuluh menit lagi dan menyambung dengan kereta lokal.

Jadi ini Jepang. Si gadis menunggu di sebuah deretan tempat duduk di Stasiun Jomo Kogen. Sudah pukul sepuluh pagi, tapi suasana stasiun cukup sepi. Si gadis jadi membandingkan stasiun ini dengan stasiun sebelumnya, Stasiun Ueno. Bisa dikatakan sangat ramai, ribuan orang seperti sedang berburu sesuatu di dalam stasiun. Ada yang berlarian ke arah Line yang keretanya hampir tiba. Berbagai papan penunjuk arah di bagian langit-langit stasiun sangat membantu semua orang, terutama yang belum terbiasa dengan stasiun-stasiun luas dan padat di Jepang. Beruntungnya, papan penunjuk arah sudah dilengkapi dengan tulisan romaji, warna, dan simbol. Praktis. Sang abang menyebutnya benri.

Rush hour. Sayangnya kamu datang pagi, kereta kita juga jadwalnya di jam orang-orang berangkat kerja dan sekolah. Ini belum seberapa, De. Ada yang lebih ramai lagi, Stasiun Shinjuku. Stasiun terpadat di Tokyo.” Jelas sang abang saat melihat kekikukkan si gadis saat tiba di Stasiun Ueno. “Yah, padahal kamu sendiri tahu padatnya Stasiun Tanah Abang seperti apa, masih kaget lihat padatnya stasiun di Jepang?” ledek sang abang yang dibalas dengan buang muka khas ala si gadis.

Ucapan sang abang terlintas begitu saja saat ia masih menunggu kereta lokal yang akan membawanya ke stasiun tujuan. Hanya beberapa orang saja lalu lalang. Mereka pun terlihat sibuk dengan dunianya. Sesekali mulai ramai saat sebuah kereta berhenti dan menumpahkan puluhan penumpang. Tetapi dalam hitungan menit, semuanya kembali seperti semula, hening. Bukan tidak suka, justru ia sangat mendambakan suasana stasiun seperti ini. Lebih tenang, kepalanya tidak perlu sampai ke titik lelah melihat kumpulan manusia yang seperti rombongan semut mengerumuti gula. Tetapi, jika stasiun yang menjadi salah satu lokasi shinkansen berhenti sesepi ini, seperti apa stasiun tujuan nanti? Lebih sepikah? Ada kabut yang menyelimuti renungnya. Kabut yang muncul tanpa diundang, yang sulit ia cairkan. Kabut membandel yang mencegahnya untuk menunjukkan seulas senyum tulus. Sesak. Tiba-tiba ia merasa sesak, walau genangan air di pelupuk mata itu tak kunjung hadir.

Berbeda dengan suasana stasiun yang sepi, kereta lokal yang ditumpanginya dengan sang abang lebih padat. Sudah padat sejak ia masuk. Si gadis memerhatikan setiap orang yang satu gerbong dengannya. Rata-rata membawa sebuah benda besar yang dibungkus dengan sarung pembungkus. Mereka juga memakai jaket tebal dengan aneka warna mencolok, saling bercanda walau volume suaranya tetap mereka jaga. Rasanya seperti akan pergi ke tempat yang asing.

“Ski, snow boarding.” Jawab sang abang tanpa menoleh padanya. Si gadis terkejut, apa sang abang bisa membaca pikirannya? “Kegambar di ekspresi kamu, De. Jangan bilang juga kamu enggak tahu perlengkapan orang yang main ski. Jelas sekali, kan?” sang abang melanjutkan. Si gadis hanya diam, mana ia tahu. Ia juga tidak penasaran ingin mencari tahu sebelum berangkat ke sini dan hal itu membuatnya kembali larut dalam diam. Ternyata perjalanan menggunakan kereta lokal ini cukup panjang. Tapi, bukannya semakin kosong, kereta malah semakin padat. Di depannya sudah banyak orang-orang berdiri, saling berhimpit. Semuanya hampir sama, menggunakan perlengkapan untuk kegiatan ski dan snow boarding seperti yang dikatakan sang abang.

“Stasiun tujuannya sama dengan kita, De.” Jelas sang abang tanpa ditanya.

Si gadis hanya berkata ‘oh’ dalam hati. Ia kembali memerhatikan orang-orang di sekelilingnya dan mulai menyadari kalau dirinya hanyalah salah satu orang asing di sana. Pikirannya kembali larut, memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang hanya berputar di kepalanya.  Kalau stasiun tujuan orang-orang itu sama dengan dirinya dan sang abang, jadi tempat seperti apa kota tujuan mereka itu? Tempat ski? Kepalanya mulai pusing. Lokasi wisata? Matanya berkunang-kunang. Artinya banyak turis? Perutnya bergejolak. Ah, sudah pasti. Biarkan saja. Para turis datang pada waktu tertentu. Setidaknya tempat tujuan nanti tidak seramai dan sepadat Jakarta.

Ia sudah bisa melihatnya, barisan pegunungan berselimut salju, jalanan sekitar yang juga ditutupi salju tipis. Tempat ini sangat jauh, jauh sekali. Jauh dari bayangan. Jauh dari kenangan. Jauh dari kesakitan. Jauh lebih baik.

Fase 2: Arendana Ta Sunyi

 Hawa dingin. Menusuk. Rapatkan syal. Masukkan tangan kiri ke saku jaket. Ya, seperti itu. Ia merasakan dingin yang menerpa. Dingin yang ekstrim untuk tubuh tropisnya. Para penumpang yang akan bermain ski itu sudah berhamburan keluar dari tadi, menunjukkan keceriaan dan ketidaksabaran. Sang abang memberi sinyal untuk segera keluar dari peron dan masuk stasiun. Stasiun ini kecil. Di luar ekspektasinya. Bangunannya terlihat seperti bangunan lama, tidak banyak petugas, tapi punya satu ruangan berisi kursi-kursi dengan bantalan aneka motif. Sang abang mengajaknya ke dalam sana terlebih dulu.

Rupanya ini ruangan tunggu yang dilengkapi dengan penghangat. Ia duduk di salah satu kursi dengan bantalan bermotif bunga sakura. Sang abang tidak lama duduk di sampingnya sambil menyodorkan minuman kaleng rasa cokelat.

Sang abang hanya menatap sebentar si gadis kemudian fokus kembali dengan minuman kopi kalengnya yang kentara dengan kanji untuk kata pahit. Tidak mudah baginya untuk mencairkan suasana. Tidak bisa untuk mengulang perseteruan kecil seperti yang terjadi di dalam shinkansen tadi. Padahal itu menyenangkan, pikirnya sambil meneguk kopi pahit favoritnya. Gadis yang duduk di sampingnya sekarang, seolah tidak begitu ia kenal. Mengapa? Ia sedikit memberi tekanan pada keningnya yang tidak pusing. Tidak. “Ada andilku di sana.” Batinnya kembali berbisik.

“Ade!”

Sang abang dan si gadis kompak melihat ke arah seseorang yang meneriakkan kata ‘ade’. Ia baru saja sampai, menggeser pintu ruang tunggu yang hangat itu. Celana bahan warna hitam yang longgar, sepatu kets abu-abu, jaket musim dingin hitam, dan syal tebal yang membungkus leher. Tidak lupa, kacamata bingkai cokelat yang sepertinya enggan diganti sejak lima tahun yang lalu menjadi ciri-cirinya saat itu. Bola mata yang membulat itu tidak melangkah masuk, masih diam terkesiap.

“Ade…” bibirnya bergerak dengan sedikit gemetar.

“Iya, Bang.” Si gadis menjawab singkat.

“Kamu pakai hijab?”

Si gadis membalasnya dengan anggukkan pelan. Walau hanya sekilas, ia bisa melihat genangan air di balik kacamata berbingkai cokelat sebelum akhirnya ia tenggelam dalam pelukan orang yang juga dipanggilnya abang tersebut.

“Alhamdulillah…” ucapnya lirih.

Si gadis merasakan kehangatan yang asing. Bisa ia dengar degup kencang dari balik jaket tebal hitam. Syal berbahan halus yang melilit leher orang tersebut menyentuh sebagian wajah si gadis, memberikan sensasi hangat yang juga asing.

“Bang Kibar…”

“Iya, De!”

“Sesak, Bang.”

“Ah! Maaf. Maaf De. Hahaha ….” Kibar segera melepaskan pelukannya. “Ade sehat, kan?”

Si gadis hanya mengangguk pelan, dibalas anggukkan juga dari seseorang yang dari tadi hanya menonton adegan yang menurutnya terlalu dramatis. Kibar menyunggingkan senyum agak kaku.

“Sudah makan?” tanyanya kembali pada si gadis.

“Sudah. Bang Raga tadi beli nasi bungkus.”

“Nasi bung…”

“Bento!” Raga memotong sebal.

“Oh bento. Ekiben ya?” Ucap Kibar sambil membenarkan letak kacamatanya.

“Apa lagi itu Bang, ekiben?”

“Itu bento yang kamu beli di stasiun.” Jelas Kibar.

“Buat aku sama saja, nasi bungkus.”

“Iya, sih. Teknisnya ya nasi bungkus.” Kibar mengamini.

“Beda lah Bang!” Raga meremas kaleng kopinya yang sudah kosong, abangnya setuju dengan si gadis begitu saja.

“Hahaha. Sudahlah, Ga. Segitu saja marah.” Kibar meraih sebuah koper ukuran besar milik si gadis. “Yuk, berangkat.”

Kibar berjalan terlebih dulu disusul Raga dan si gadis. Begitu melangkah keluar stasiun, sebuah pemandangan asing kembali menyeruak. Tepat di seberang stasiun, berjejer toko-toko kelontong. Ia tidak begitu kenal dengan barang yang dipajangkan, tetapi jelas sekali kalau isinya barang oleh-oleh. Udara dingin mulai menusuk hidungnya, segera ia menaikkan sedikit syal sampai menutup setengah wajah dari bawah. Dari tadi, ia masih belum tahu nama tempat ia berada sekarang walau pemberitahuan otomatis terdengar jelas menggema di dalam gerbong kereta sebelum tiba di tempat tujuan. Lagi-lagi Raga melihat itu. Sebelum ia menyusul Kibar ke tempat mobilnya diparkir, Raga membalikkan tubuh si gadis, menghadap area depan stasiun dan menunjukkannya papan nama stasiun.

“Kita di Minakami, De. Tempat tinggalnya Bang Kibar sekarang.”

Si gadis terkesiap dengan pemandangan di depannya. Tidak hanya ia sudah mengetahui nama tempat itu, tetapi juga latar belakang stasiun yang dilingkupi oleh jajaran pegunungan yang berselimut salju. Ia juga bisa melihat tumpukan salju di beberapa area sekitar stasiun. Semua pemandangan itu, membuatnya tersihir.

Perjalanannya hanya 10 menit saja dengan mobil. Ia kini berdiri di sebuah bangunan yang terpisah beberapa meter dari bangunan lain. Dua lantai, tidak, tiga lantai tepatnya. Berdiri kokoh di pinggir jalan utama. Tapi di matanya ini bukan rumah biasa. Lantai satu yang dilihatnya adalah sebuah kafe. Di bagian luar juga ada beberapa kursi dan meja. Jendela dan pintu kaca menjadi poin utama dari kafe ini. Pada bagian depan pintunya tergantung dua papan kecil yang saling terhubung dengan tali cokelat.

Tutup

Close

“Ini hari spesial.” Kibar memecahkan keheningan, tentu berhasil membuat si gadis menoleh. Kibar merekahkan senyumnya, menghampiri si gadis dan menepuk-nepuk pelan kepalanya. “Karena kamu akan tinggal di sini, bersama keluarga kecil Abang.”

            “Bang Raga juga?”

            “Raga pengecualian, De. Mana mau dia tinggal di tempat yang jauh dari gemerlap kota.”

            “Maksudnya apa itu?” Raga menyelinap di antara Kibar dan si gadis.

            “Dari dulu Raga kan anak kota.”

            “Mau bagaimana lagi, memang dapat tempat kerjanya di kota.” Raga memutar bola matanya.

            “Jadi berminat tinggal di sini?” goda Kibar.

“Jangan mulai, Bang!” Raga segera menyeret koper besar si gadis dan langsung membuka pintu masuk kafe. Ada denting khas saat pintu dibuka, berasal dari gesekan tiga besi tipis yang tergantung di depan pintu. Suara khas pintu masuk kafe yang pernah ia dengar dalam drama Jepang yang ditontonnya beberapa tahun lalu.

            “Iya, kan De. Raga memang pemalu.”

Si gadis mengangguk pelan. Tiba-tiba ia merasa bahunya didorong dari belakang, Kibar tersenyum lagi saat ia menoleh padanya. Seolah mengatakan sudah saatnya masuk untuk memulai sesuatu yang baru.

Denting benda di depan pintu terdengar lagi. Udara hangat menyapa tubuhnya tepat setelah ia masuk satu langkah. Aroma roti yang baru selesai dipanggang bercampur wangi teh panas yang asing memancing rasa penasaran indera penciumannya. Tepat pada saat itu, seseorang keluar dari pintu di ujung kanan kafe. Rambutnya hanya sampai bahu, warnanya cokelat muda. Kulitnya berwarna kuning terang, seperti warna kulit orang-orang yang ditemuinya di Stasiun Ueno. Cerah dan bersih. Dilihat sekilas saja, tubuhnya tinggi melebihi si gadis, tetapi masih di bawah tinggi Kibar dan Raga. Siapa pun pasti akan menyimpulkan kalau perempuan yang sedang berjalan ke arah Kibar dan si gadis itu adalah tipe perempuan yang cantik. Tetapi ada yang berbeda dengan matanya, matanya jauh lebih besar dan lebar jika dibandingkan dengan orang Jepang pada umumnya.

Terkesima. Mungkin itu yang sedang dirasakan si gadis saat itu. Ia tidak menyadari kalau perempuan yang terlihat menyilaukan di matanya itu kini tepat berdiri di hadapannya. Senyum merekahnya berhasil menyentuh satu titik di hatinya.

Tadaima,” Kibar tiba-tiba saja bersuara.

Okaerinasai,” jawab perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.

“Hana, akhirnya aku bisa menepati janji.”

Janji?

“Ade, perkenalkan ini istri Abang, Masaki Hana.”

“Salam kenal,” ucap Hana segera.

Si gadis hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi situasi ini bagaimana. Rasanya semua berada di luar kamus kehidupannya. Terlalu asing, terlalu tiba-tiba. Dan Masaki Hana di hadapannya ini, terlalu bersinar. Menyilaukan.

“Oiya, ini pertama kalinya Ade bertemu istri Abang, ya?”

Kalimat Kibar membuat si gadis tersadar. Ia kembali mengangguk pelan, tetapi sama sekali tidak bisa membalas senyuman manis Masaki Hana. Hanya anggukan pelan dan cara menatap yang sebisa mungkin sedikit bersahabat.

“Ternyata jauh lebih cantik daripada di foto, ya?” Hana mengucapkannya tanpa kesulitan sama sekali. Bahasa Indonesianya jauh lebih lancar dari dugaan.

“Sudah pasti!” Kibar membusungkan dadanya yang dibalas tawa ringan Masaki Hana. Belum sempat si gadis mampu mencerna situasi yang sedang dihadapinya, ia kembali merasakan tangan besar kibar mendarat di kepalanya, menepuk-nepuk pelan.

“Hana, perkenalkan. Adik bungsu kami ….” Kibar melirik si gadis kemudian mengedipkan sebelah matanya.

“Arendana Ta Sunyi.”

Fase 3: Rujak Petis Ajaib

            “Panggil Hana saja,” Hana meletakkan satu nampan berisi sepiring pancake tiga tumpuk berlumur sirup mapel dan secangkir teh panas. Si gadis menggeleng, Hana hanya tersenyum. “Suka kamarnya, kan?”

            “Iya.” Jawab si gadis singkat.

            Matanya masih belum terbiasa dengan suasana kamar seperti itu. Ukurannya termasuk luas untuk satu orang. Ranjang berukuran sedang, sebuah lemari pakaian, meja belajar lengkap dengan kursinya, dan sebuah meja tamu tidak jauh dari tempat tidur. Sekeliling meja dialasi karpet dengan bulu-bulu halus berwarna biru muda. Kamar yang di luar dugaannya.

            “Kalau ada yang tidak suka, bilang saja,” Hana melanjutkan. “Kamu sekarang 22 tahun, ya?”

            “Iya,” jawab si gadis sambil duduk di bagian seberang meja saat Hana sedang menyodorkan sepiring pancake hangat padanya. “Boleh aku panggil Kak Hana?”

            “Tentu saja boleh. Padahal kalau panggil Hana saja juga enggak apa-apa.”

            “Aku jauh lebih muda. Adiknya Bang Kibar juga, enggak sopan kalau hanya panggil nama sama Kak Hana.”

            “Oke kalau begitu. Kedengarannya bagus juga dipanggil kakak, hehe.” Hana membenarkan letak duduknya. Sorot matanya sangat ramah, sama sekali tidak terganggu dengan sikap dingin si gadis.

            “Jadi,” lanjutnya. “Aku harus panggil kamu apa? Arendana, Ta, Sunyi, atau Ade?”

            “Aren saja.”

            “Oke. Aren.”

            Kembali muncul rasa asing saat namanya dipanggil oleh Hana. Tapi keasingan itu terasa hangat, ada desiran yang tak ia mengerti dalam hatinya. Tangannya dengan segera memotong pancake menjadi bagian kecil dan mulai melahapnya untuk menepis hal aneh yang menyerang titik lemahnya tersebut. Aren terdiam sebentar, ada rasa yang asing di lidahnya. Mengapa semua rasanya asing?

            “Mas Kibar sering cerita tentang kamu. Adik kebanggaan melebihi Raga, katanya,” Hana terus mempertontonkan senyumnya, entah mengapa Aren bisa melihat rasa kebanggaan itu juga di mata Hana dan sedikit tergelitik mendengar Kibar dipanggil ‘Mas’. “Kamu paling enggak suka dipanggil Ade, tapi justru para abang lebih senang memanggil kamu Ade. Itu juga kata Mas Kibar.”

            “Mereka suka seenaknya,” Aren menjawab ketus.

            “Iya, kan? Aku juga berpikir begitu. Kadang mereka berdua suka seenaknya, tapi ya itulah mereka.” Hana bisa melihat tanda tanya besar di benak Aren. Senyumnya tidak bisa berhenti. “Kami bertiga sudah kenal lama. Bahkan sebelum Mas Kibar dan Raga tinggal di Jepang.”

            Apa?

            Tapi pertanyaan itu tidak keluar secara verbal. Rasa ingin tahunya kalah oleh sikap menutup diri yang entah kapan jadi lebih dominan. Ada banyak pertanyaan untuk Hana, tapi Aren memilih bungkam. Hana menceritakan banyak hal padanya, tanpa ada kesan pendekatan. Aren biasanya akan menarik diri, tetapi magnet Hana jauh lebih kuat. Mungkin sisi ini yang membuat Kibar melamarnya.

            “Arendana Sa Kibar. Arendana Li Raga. Arendana Ta Sunyi. Lengkap!” tiba-tiba gairah muncul di mata Hana yang membuat Aren hampir tersedak. “Kamu tahu? Aku selalu penasaran dengan adik bungsu Mas Kibar dan Raga. Soalnya nama kalian unik. Terlebih nama kamu. Kenapa kamu enggak mau dipanggil Sunyi?”

            Aren memilih diam sejenak. Hana ia urutkan sebagai orang ke-143 yang menanyakan hal tersebut. Hanya saja kali ini, tidak ada perasaan sebal yang bercokol.

            “Terlalu sepi.” Aren menjawab sekenanya.

            “Atau Ta?”

            “Terlalu ringkas.” Baru terpikirkan olehnya.

            “Dana?”

            “Terlalu maskulin.” Dari mana ide ini muncul?

            Tiba-tiba tawa Hana meledak. Aren terlonjak, kaget dengan serangan tawa Hana. Ia tidak bisa membayangkan bahwa perempuan semanis Hana bisa tertawa sekeras ini. Tidak, tidak perlu dibayangkan, ia sudah menyaksikannya secara langsung detik itu. Air mata malah hampir keluar dari balik bulu matanya yang lentik. Ada seribu pertanyaan dalam batin Aren tentang mengapa Hana bisa tertawa karena percakapan itu? Apa yang lucu? Anehkah namanya?

            “Hahaha, gomen gomen.” Hana masih memegangi perut dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya sibuk mengusap area mata yang mulai berair. “Jangan kesinggung ya, Aren. Aku hanya merasa ajaib.”

            “Jawabanmu di luar perkiraan. Kamu seunik namamu. Persis Mas Kibar.”

            “Kak Hana juga ajaib.”

            “Oiya?” Hana membulatkan matanya yang sudah besar.

            “Hmm…”

            “Bungkusannya manis, tapi rasanya rujak petis.”

            Hening sebentar. Belum sempat Aren menyadari apa yang meluncur dari bibirnya, ia sudah disuguhi derai tawa khas Hana yang lebih menggelegar. Lucukah? Apa Hana tahu apa itu rujak petis?

            “Hahaha…”

            “Kak Hana,”

            “Iya, haha… gomen. Kamu lucu sih, Ren. Bicara kayak gitu, tapi ekspresinya datar. Ah, rujak petis ya? Kangen jadinya.” Hana kembali mengusap matanya.

            Aren bungkam lagi. Ia benar-benar merasa keajaiban itu ada di depan matanya. Sosok yang ajaib. Benar-benar seperti rujak petis yang dibungkus plastik permen warna pastel. Hana mengeluarkan senyum manisnya seperti awal pertemuan tadi. “Saudara itu ajaib, ya. Pribadi yang berbeda, unik. Tapi celah kemiripannya selalu ada, walau hanya sebesar lubang jarum jahit.”

Sepercik aura hangat menepuk sudut hati Aren. Kalimat ajaib yang meluncur dari titisan rujak petis itu seperti sudah membangunkan sesuatu dalam dirinya. Hati Aren luluh, tetapi sisi lembut ekspresinya masih belum keluar. Biarlah, biar menjadi rahasianya saja. Sampai ia bisa mengenal lebih jauh, sosok kakak ipar ajaib di hadapannya itu.

Fase 4: Memang Tidak Mudah

Aren membuka gorden berwarna salem tepat di pinggir meja belajarnya. Hamparan pemandangan pagi bernuansa monokrom dengan selimut salju putih yang lebih dominan, melambaikan tangan padanya. Pagi kelima, suasananya tidak banyak berubah, hanya kondisi tubuhnya yang mulai terbiasa dengan udara dingin ekstrim Minakami. Rasa asing masih enggan menjauh darinya, berapa lama ia akan merasa asing dengan semua yang melingkarinya kini? Semua yang sebenarnya ia kenal dengan sangat baik, setidaknya menurutnya begitu. Mata sayunya tiba-tiba membulat saat ia melihat butiran-butiran putih mulai meluncur dari langit.

Hujan saljunya cukup lebat, hampir tidak mirip dengan butiran salju yang jatuh pelan seperti dalam sebuah anime yang pernah dilihatnya beberapa tahun lalu. Butirannya kecil-kecil, meluncur deras dengan nada suara yang berbeda dari hujan air. Alunannya mengingatkan pada musik klasik dari kaset pita yang biasa diputar Apah saat ia masih di sekolah dasar. Musik yang mengalun mengantar pagi harinya sebelum berangkat sekolah.

[1]Yanni – Almost A Whisper dan In The Morning Light.

Aren memejamkan matanya, menajamkan pendengaran yang mengaitkan pada dua bayangan alunan musik dari Yanni yang pernah bahkan sering didengarnya. Sayup-sayup muncul suara berat Apah di sela-sela dentingan piano, ritme tawanya yang renyah, dan bayangan senyuman yang dihujani cahaya pagi. Sosoknya masih sangat jelas dalam ingatan, duduk di kursi rotan cokelat muda, sambil membaca kolom cerpen sebuah harian favoritnya. Apah bilang, cerpen itu menyenangkan. Kamu tidak perlu berpikir terlalu panjang, tetapi kisahnya tersampaikan. Aren terlelap dalam kesunyian hujan salju.

Sekali saja, Apah. Aren ingin bertemu.

Lelapnya Aren hanya sekejap saja. Ketukan pintu mengusik gendang telinganya yang dilanjutkan dengan reaksi spontan berjalan dan membuka pintu. Kibar memamerkan senyum lebar tepat saat pintu sudah dibuka.

“Ade bisa bantu Abang sama Hana, kan?”

“Bantu apa, Bang?” Aren mengikuti Kibar yang sudah berjalan ke arah tangga. Mereka memasuki area kafe, tampak Hana sedang mengeluarkan satu pinggan roti dengan aroma jahe.

Ohayou, Aren!” Hana mulai memindahkan roti-roti jahe tersebut ke sebuah wadah aluminium bercorak bunga. “Mas Kibar, adonan melon pan bisa dipanggang sekarang.”

Yosh!” Kibar memasukkan adonan melon pan pada pemanggang, tangannya sangat cekatan. Setelah itu ia mulai meracik adonan lainnya. Gerakannya sempat berhenti sebentar, dan melihat Aren yang hanya berdiri memerhatikan dirinya dan Hana. Senyum Kibar kembali merekah.

“Bisa bantu kita di sini, kan? Ini hari pertama kita buka lagi sejak kamu datang, De.”

Aren segera menghampiri mereka tanpa mengatakan apa pun. Ia menerima arahan dari Hana untuk menyusun roti yang sudah matang di etalase dekat kursi-kursi pelanggan. Aroma rotinya sangat khas, ia jarang melihat dan menghirup aroma roti yang baru saja dipanggang. Aren kemudian menyusun roti-roti berdasarkan jenisnya.

“Raga belum kasih kabar kapan ke sini lagi, Mas?” Hana membalik adonan roti dengan tenaga penuh dan menimbulkan bunyi ‘Bam!’ yang mengejutkan Aren. Kibar hanya menggeleng, tangannya meraih toples berisi serbuk cokelat di lemari paling atas. “Seenggaknya kalau ada Raga, Aren jadi bisa keliling daerah sini lebih sering. Kita enggak punya waktu yang banyak buat Aren, kan?” Hana melirik dan mengedipkan sebelah matanya pada Aren.

“Hmm, iya sih. Kafe ini cuma kita berdua yang urus. Ade juga belum sempat jalan-jalan di sekitar sini, ya. Padahal kota kita terkenal dengan wisata musim dinginnya.”

“Aku coba telepon Raga, gimana?” tawar Hana.

Muri dayo. Yakin teleponnya bakal diangkat?”

“Pakai nomor Mas Kibar saja, kantan deshou?”

“Begitu dengar suara kamu langsung ditutup.” Kibar mengetuk kepala Hana pelan dan dibalas senyuman jahil Hana yang khas. “Mas saja yang telepon.”

“Oke desu!” lagi-lagi Hana mengedipkan sebelah matanya pada Aren.

Aren berjalan mendekati jendela kafe. Bayangan Kibar dan Hana terpantul dengan jelas. Keakraban mereka masih terasa asing. Tidak ada rasa familiar sama sekali, bahkan Kibar pun terasa sangat asing di mata Aren. Ia seperti tidak mengenal siapa Kibar, atau Raga, apalagi Hana. Terlalu besar lubang pemisah antara dirinya dengan mereka, begitu banyak waktu yang terlewatkan, tidak pernah ada dirinya di sana. Pertama kali baginya melihat Kibar tertawa lebar dengan orang di luar keluarga yang sekarang sudah menjadi keluarganya. Sifat lembut Kibar yang dulu hanya tertuju padanya, kini juga bisa dirasakan Hana. Aren menempelkan keningnya pada kaca jendela sampai bayangan Kibar dan Hana tidak bisa terlihat. Pandangannya tertuju pada jalan raya dengan kedua sisinya yang dipenuhi salju.

“Salju…” pandangan Aren tiba-tiba berhenti beberapa detik saat matanya bertemu dengan sepasang mata di luar sana. Orang itu tiba-tiba berhenti saat melihat Aren, seperti patung. Ada raut terkejut di wajahnya, Aren kemudian menarik tubuhnya untuk menjauh dari jendela, kembali membantu Kibar dan Hana. Sedangkan orang di luar sana, masih terpaku. Butuh waktu beberapa menit sampai ia mulai kembali berjalan, sambil sesekali menengok ke arah kafe.

“Kenapa, De?” tanya Kibar yang masih mengolah adonan roti. Aren merasa sedikit terkejut, tetapi ia bisa kembali mengendalikan ekspresinya. Aren hanya menggeleng sebentar. “Enggak mau cerita sama Abang?” Kibar melanjutkan. “Abang berharap, sedikitnya kamu mau berbagi. That’s what siblings are for.”

Bagai letupan kembang api musim panas yang bisa dilihat di pinggir sungai, kalimat Kibar menyulut tatapan sinis dari Aren. Kibar menelan ludah, menyesali kata-katanya yang hanya mengukuhkan rasa tidak suka Aren semakin besar. Ia hanya mendesah saat melihat Aren berlalu dengan cepat meninggalkan area kafe, kembali masuk ke rumah. Akhirnya ia terduduk di kursi dekat meja untuk mengolah adonan roti. Hal yang ia rasakan beberapa detik kemudian adalah pijatan lembut di bahunya yang memang terasa tegang. Pemilik tangan yang memijat itu hanya tersenyum saat Kibar menoleh.

“Sudah bersih kok tangannya, hehe.” Hana melanjutkan pijatan di bahu Kibar. “Perasaan anak perempuan itu seperti kulit telur, Mas. Rapuh. Sensitif. Mudah retak. Tapi justru kulit rapuh itu mampu melindungi isi telur dengan kuat.” Kalimat kontradiktif Hana, adalah yang mampu meluluhkan Kibar kapan saja. “Tidak perlu tergesa. Dilema usia 22, semua orang pasti pernah merasakannya. Membuka hati Aren itu tidak bisa seperti permainan sulap, tapi seperti merajut. Butuh waktu yang enggak sebentar. Aku juga masih belajar mengenal Aren, kehadiran istri Mas Kibar ini bukan hal yang mudah diterima adik iparnya. Aku tahu itu.” Ada nada berat sebelum akhirnya Hana melanjutkan dengan intonasi ringan,  “Dakara ne, ganbarimashou! Futari de dekiru yo, kitto.”

Kibar menggenggam tangan Hana yang masih memijat. Selalu ada kekuatan yang diberikan tangan mungil yang sanggup membalik adonan roti seberat apa pun. Kibar menarik pelan tangan kuning langsat itu dan meluncurkan ciuman lembut tepat di bagian punggungnya. “Arigatou,” bisiknya pelan. Hana yang terbawa suasana sudah siap memeluk Kibar dari belakang tepat saat ponsel Kibar berbunyi nyaring. Nama dan foto Raga terlihat jelas di layar ponsel yang dengan sigap diraih Hana dan tanpa ragu menekan tombol berbentuk telepon berwarna hijau. Kibar kalah cepat dengan Hana yang sudah telanjur meluncurkan kalimat.

“Raga jangan ditutup!” tegas Hana tanpa basa-basi.

Hening sejenak. Hana tidak menyerahkan ponsel walaupun Kibar menunjukkan sinyal ‘berikan padaku sekarang’.

Bang Kibar mana?” tanya Raga di seberang sana dengan nada tersendat.

Hana memelototi Kibar yang masih saja ingin ponselnya kembali. “Mas Kibar atau aku sama saja. Jangan ditutup.” Ulang Hana lagi. “Kamu mau tanya soal Aren? Raga, kapan kamu bisa ke sini lagi? Aku dan Mas Kibar enggak bisa menemani Aren keliling Minakami, kafe baru buka lagi. Kasihan Aren belum sempat jalan-jalan. Kalau kamu ada wak….”

Sabtu ini. Aku berangkat naik kereta paling pagi.” Potong Raga cepat dan langsung memutus sambungan telepon.

Hana menunjukkan ekspresi bangga yang dibalas senyum pasrah Kibar. Sisi keras kepala istrinya, ia akui sebagai titik lemahnya. Saat Hana bilang A, artinya A harus dilaksanakan. Senyum Kibar terus mengembang melihat Hana yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Setiap detail gerakannya semakin membuat tanda hati di bagian sebelah kiri dadanya berdegup kencang, persis saat pertama kali ia mulai jatuh cinta. Hanya perempuan berambut sebahu ini yang mampu membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya.

“Mas?” Hana membuyarkan lamunan kasmaran yang dirasakan Kibar. “Sudah, terpukaunya nanti saja.” Hana menyunggingkan senyum jahilnya, membuat pipi Kibar bersemu merah. “Pengumuman lowongan kerja sudah ditempel?” Hana melihat Kibar mengacungkan kedua jempolnya. “Jangan lupa nanti baikan sama Aren.” Sambung Hana sambil tertawa kecil melihat raut Kibar yang serba salah, kali ini ia hanya mengacungkan satu jempolnya saja.

Bayangan lantunan piano Yanni kembali menggema di kepala Aren. Ia melarutkan diri di antara tumpukan bantal, berharap ucapan Kibar bisa segera pergi. Reaksinya muncul secara alami tanpa bisa ia redam. Entah mengapa kalimat Kibar membuat dadanya terasa sangat sakit. Lipatan memori tentang keluarga, tentang saudara mulai berkelebatan tanpa permisi. Aren menutup kedua telinganya.

“Berisik …,” lirihnya.

Fase 5: Sunyi dan Raga

            “Kamu ngambek sama Bang Kibar?” tanya Raga di tengah kesibukannya menyetir di antara pemandangan karpet putih yang hening. Tidak ada jawaban. Adik bungsunya sama sekali tidak tertarik melirik Raga, bahkan sejak pertama ia datang ke kafe. Hanya jalanan berkelok menanjak dengan hamparan salju saja yang menjadi fokusnya saat itu. Raga memutar bola matanya, ia harus sangat terbiasa dengan Aren yang ‘baru’. Sedikit bicara. Sensitif. Menolak untuk peka.

            “Oke. Lupakan Bang Kibar atau istrinya,” lanjut Raga. “Kamu pasti akan suka tempat yang mau Abang tunjukkan sebentar lagi.” Raga melirik puas saat Aren tiba-tiba menoleh. “Boleh tanya kalau penasaran.”

            “Tempat apa?”

            “Coba kamu tebak. Tempat yang saljunya lebih tebal daripada di kota …,” Raga merasakan hawa dingin saat Aren menatapnya sebal. Pilihan kata ‘coba tebak’ dengan kalimat penawaran ‘boleh tanya kalau penasaran’ adalah kesalahan besar yang dibuat Raga. “Tanigawadake!” koreksi Raga segera sebelum ekspresi Aren semakin jengkel. “Tempat main ski di gunung. Salah satu yang terkenal di Minakami.”

            Aren mulai mengerti alasan mengapa ada satu bungkusan besar tergolek di tempat duduk penumpang. Itu pasti alat ski milik Raga. Artinya Raga sudah mahir bermain ski kalau sudah punya alatnya sendiri. Wajar saja, sudah berapa tahun kedua abangnya itu tinggal di Jepang. Kegiatan asing seperti ski pasti sudah dikuasai mereka berdua, yang tidak mungkin dilakukan di tanah air. Apa saja yang sudah mereka bisa? Apa saja yang menjadi kebiasaan baru? Apa saja yang terlewatkan olehnya? Terlalu banyak, pikir Aren. Jarak itu semakin nyata, walau sudah satu atap kembali setelah bertahun terpisah.

            Raga memberikannya banyak kejutan. Tidak terpikir oleh Aren bahwa menuju Tanigawadake membutuhkan cara lain selain naik mobil. Mereka harus naik gondola terlebih dulu sebelum sampai ke area ski. Tidak banyak pengunjung saat mereka tiba di stasiun gondola, Aren dan Raga hanya berdua di dalam gondola yang bisa memuat lebih dari enam orang. Gondolanya berwarna merah dengan tulisan Tanigawadake pada bagian luarnya. Tetapi kejutannya belum berakhir. Sepanjang gondola melintas, Aren bisa melihat pemandangan gunung yang tertutup salju. Gondola terus menanjak, hanya pemandangan ajaib yang bisa dilihat Aren dari dalam. Seperti ada suara hening mencekam yang indah di luar sana. Ya, mencekam. Tidak terbayang kalau tiba-tiba ada di bawah sana, di antara pepohonan tinggi dan tebalnya salju.

            Kalau tali gondolanya putus … artinya jatuh ke sana, kan?

Aren menggelengkan kepala. Ia menyesal mengapa hanya bayangan buruk yang menghampiri pikirannya. Satu tarikan napas kuat ia harapkan bisa menenangkannya sedikit. Matanya kembali terbuka, sekarang lebih tenang dan rasa syukur mulai menyelinap ke hatinya. Sebuah pemandangan indah dariNya yang mungkin tidak akan pernah ia rasakan jika tidak berada di sana.

Aren tidak menyadari bahwa sikap tidak jelasnya sejak naik gondola sudah mencuri seluruh perhatian Raga. Mengamati Aren jadi hobi baru baginya. “Abang mau kenal Ade satu kali lagi,” ia tahu persis gumamannya terdengar oleh Aren. Aren bertanya dalam diam dan hanya dibalas jepretan foto dari kamera ponsel Raga. “Ekspresinya lucu, De. Lumayan oleh-oleh buat Bang Kibar yang sudah kamu buat galau beberapa hari ini.”

Turun dari gondola, mereka harus berjalan melalui lorong sebuah bangunan yang pada bagian sisinya terbentang jendela kaca panjang. Pemandangan bersalju bisa terlihat jelas dari sana. Pada dinding di seberangnya, terdapat deretan foto pemandangan Tanigawadake dari berbagai musim. Aren sangat tertarik dengan suasana musim panas, ada banyak kegiatan menarik yang bisa dilakukan salah satunya mendaki gunung. Mungkin melalui rute di bawah gondola tadi, pikir Aren. Setelah berjalan sekitar satu setengah menit, mereka tiba di sebuah area yang menghubungankan tempat ski dan sebuah area istirahat mencakup restoran dan toilet.

Saat menoleh ke sebelah kanan, Aren melihat pemandangan yang tidak biasa. Sebuah bukit berselimut salju dan tidak dipenuhi pepohonan. Area untuk bermain ski dan snowboarding. Mungkin saat naik gondola rasanya sangat sepi, tetapi area ski ternyata sudah dipenuhi pengunjung. Matanya melihat beberapa orang yang meluncur dengan lihai dari sebuah bukit yang lebih tinggi lagi dari tempatnya berdiri. Dadanya berdegup kencang, sebuah kejutan lagi yang berhasil disuguhkan Raga dan mampu membuat dirinya terpana. Mungkin saja Aren hanya akan terdiam di tempat itu bila Raga tidak menepuk pundaknya dan mengajaknya masuk ke area restoran.

Ia bisa merasakan udara hangat saat pintu restoran yang juga dilengkapi dengan area untuk beristirahat dibuka oleh Raga. Jendela-jendela kaca berukuran besar siap menghidangkan pemandangan di sekeliling Tanigawadake. Aroma kuah ramen begitu menyengat, tampak beberapa orang hanya duduk-duduk di pinggir jendela sambil melihat pemandangan dan sebagian tengah menikmati hidangan yang disediakan di restoran. Raga memberikan isyarat untuk mengikutinya turun ke lantai di bawahnya. Setibanya di bawah, Aren melihat banyak sekali loker dengan aneka ukuran dan di ujung area loker itu terdapat toilet yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan.

“Tasnya kita simpan di sini, De.” Raga meminta tas Aren, tangannya cekatan membuka loker yang masih memiliki kunci yang tergantung di bagian luarnya. Setelah mengunci loker, Raga memasukkan tiga koin 100 yen ke dalamnya. Tidak lama, kunci loker sudah berpindah tangan pada Aren. “Ini loker koin, De. Aman.” Jelas Raga tanpa ditanya. Raga kembali menjelaskan kalau loker-loker di area kota sudah banyak yang menggunakan kartu, bukan koin lagi, dan jauh lebih aman menurutnya.

Tidak perlu waktu yang lama, Raga sudah memandu Aren untuk mengenakan perlengkapan ski yang memang sudah dibawanya. Awalnya Aren menolak, ia hanya ingin jalan-jalan saja di atas salju. Raga keukeuh. Sudah susah payah dan berat ia bawa peralatan ski, miliknya satu dan pinjam satu pada Hana. Perdebatan singkat sempat membuat pengunjung di sekitar mereka menoleh dan penasaran sampai akhirnya Aren menyerah. Raga bukan orang yang tepat untuk diajak berdebat. Selalu ada cara untuknya menang. Aren harus membiasakan diri berjalan dengan sepatu khusus ski yang rasanya agak berat saat melangkah. Sepasang papan ski dibawanya di sebelah kanan dan tongkat ski di sebelah kiri. Raga mengajak Aren untuk berlatih ski di area yang tidak jauh dari bangunan restoran.

Bermain ski ternyata tidak seindah kelihatannya, Aren lebih banyak terjatuh sejak awal latihan. Walaupun ada tongkat ski, kakinya tetap saja melebar saat mulai meluncur dan berakhir dengan adegan seluruh badan mencium dinginnya salju. Raga sesekali tergelak, awalnya ragu, tapi akhirnya ia tidak peduli lagi dengan tatapan dingin Aren dan memilih untuk tertawa lepas. Saking sebalnya, Aren meraup salju dan melemparkannya tepat ke arah wajah Raga. Walau jujur sulit bagi Aren membentuk saljunya menjadi bulatan padat, tekstur saljunya seperti serbuk. Tetapi, perang lempar salju jadi tidak terelakkan. Saat Aren sibuk mengumpulkan salju, Raga sudah terlebih dulu menghujaninya dengan salju yang dikumpulkan dalam satu genggam tangannya. Aren agak sulit bergerak karena masih terikat dengan papan ski. Tapi, bukan Aren kalau menyerah begitu saja. Perang salju terjadi cukup lama. Entah mengapa Aren merasa ada satu beban terangkat begitu saja. Sampai tiba pada satu momen ketika Raga tergelincir dengan posisi wajah menyentuh salju dan bokongnya terangkat. Aren tidak bisa menahan diri, ia melepaskan tawanya.

Mendengar tawa renyah yang telah lama hilang dari pendengarannya, membuat hati abang kedua itu menghangat. Tetapi jiwa jahilnya belum selesai, ia menarik kaki kanan Aren sampai keseimbangannya roboh dan Aren jatuh dalam posisi telentang. Kali ini giliran Raga yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia masih dalam posisinya, telungkup di atas salju. Dilihatnya Aren yang hanya diam memandangi langit Tanigawadake, yang saat itu sedang menunjukkan sisi biru jernihnya. Raga tersenyum tipis, membalik tubuhnya dan ikut telentang menghadap langit yang ditatap Aren. Mereka tidak memedulikan para pengunjung lain yang sesekali melihat mereka sambil tertawa kecil atau bahkan berbisik.

“Abang paling suka langit Minakami saat cuaca cerah. Jernih. Beda sama di Tokyo.” Raga mulai memecah keheningan di antara mereka berdua. Aren bergeming. Bola matanya masih menatap lurus ke arah langit yang melengkung. Sejak pertama ia sampai di Jepang, Aren melihat perbedaan mencolok pada langitnya. Berbeda dengan langit di Indonesia. Lebih lebar, sampai-sampai ia bisa melihat sekelilingnya yang terasa lebih luas. Bulan juga terlihat lebih besar.

“Ada banyak yang ingin Abang tanyakan sama kamu, De.” Ekspresi Raga mulai melunak. Dilihatnya Aren mengangkat tangan kanannya, seolah ingin meraih sesuatu di udara.

“Apa?” tanya Aren singkat, masih dengan posisinya.

“Tentang Ade, yang tidak pernah Abang tahu selama masa absen Abang dan Bang Kibar. Abang tahu, sulit untuk kamu terbiasa hidup dengan kami sekarang. Banyak yang berubah, pasti kamu kaget awalnya.”

“Kenapa baru Abang tanyakan sekarang?” sela Aren.

Raga menghirup napas panjang. Matanya berusaha mencari jawaban di luasnya langit berwarna biru itu. “Iya, Abang dan Bang Kibar terlalu lama jauh dari kamu. Maaf kalau terlambat. Tapi, walau terlambat Abang tetap mau mengganti semua masa absen itu sekarang.” Raga mengangkat tubuhnya sampai ia berada dalam posisi duduk. “Izinkan kami menutup lubang hati kamu sedikit demi sedikit, De. Sampai penuh, sampai kamu mau menerima kami sebagai abang kamu lagi.” Dilihatnya Aren berdiri, mengambil papan dan tongkat skinya.

“Lapar, Bang. Aku mau makan bento buatan Kak Hana.”

Raga tersenyum simpul. Tidak ada tolakan pun tidak ada persetujuan. Tetapi, ia merasa langkahnya lebih ringan. Biarlah adik bungsunya itu seperti itu, perlahan saja. Sekeras apa pun, suatu hari akan terbuka walau entah dengan cara apa.

Perjalanan pulang lebih hening dari berangkat. Aren memilih mengunci bibirnya rapat. Raga menerima saja konsekuensi dari keberaniannya bersikap jujur tadi. Pertama kali baginya, merasa mendung saat bermain olahraga musim dingin favoritnya. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Aren, tapi ia pun tidak berani mengusiknya juga. Raga hanya merasa dadanya semakin penuh saat melihat Kibar dan Hana sudah berdiri di depan kafe ketika ia memarkir mobil. Ada ekspresi berat pada wajah kedua orang itu saat melihat Aren yang masih diam dengan mood yang sama seperti saat berangkat. Aren hanya mengucapkan salam kemudian masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Raga mengangkat bahu, Kibar mengerti.

“Kamu menginap di sini, Ga?” tanya Hana, menyodorkan satu gelas teh hangat.

Raga menerimanya dengan ragu, menghindari segala kemungkinan menatap Hana. “Iya, sudah reservasi hotel di ujung jalan sana.”

“Hotel lagi?” Kibar menggaruk kepalanya. “Menginap di sini saja, hanya semalam. Kita enggak keberatan, lagipula masih ada satu kamar kosong.” Kibar melirik Hana, istrinya hanya menyunggingkan senyum samar.

Hoteru de hou ga ii.” Raga mengembalikan gelas yang hanya menyisakan sedikit teh. “Arigatou.” ucapnya pelan.

Hana menarik sedikit jaket Kibar dari belakang, wajahnya menunduk dan melihat gelas teh yang baru saja dikembalikan Raga. Saat melihat Raga yang kini mengalihkan fokusnya ke jalan raya, Kibar menepuk pelan kepala istrinya dan memberikan senyuman yang seakan mengatakan tidak apa-apa.

“Abang antar sampai ke hotel. Jalan kaki? Naik mobil?” tawar Kibar.

“Jalan saja.”

Hana belum ingin masuk. Ia masih di sana, berdiri memerhatikan Kibar dan Raga sampai tidak terlihat lagi. Ia kembali menatap gelas teh Raga yang sudah dingin. Pemandangan sore ini terlalu cerah untuk benaknya yang sejak Raga datang digelayuti mendung. Tidak ada pengunjung sore itu, Hana memutuskan berdiam di luar sedikit lebih lama. Ia perlu dan harus mendinginkan perasaannya yang mulai memanas.

Sementara itu Aren hanya melihatnya, Hana dari belakang yang terlihat jenjang walau terbungkus sweeter tebal. Dirinya terenyak saat menyadari kalau Hana sudah masuk ke dalam kafe dan memberinya senyuman hangat. Aren memutuskan untuk menghampiri Hana yang mengajaknya untuk menyiapkan makan malam. Pikirannya masih diselimuti sebuah pertanyaan, mengapa Raga memilih menginap di hotel. Walau begitu, ia merasa lega tidak perlu bertatap muka lebih lama dengan Raga.

“Kamu mau kare?”

“Kare?”

“Hampir mirip kari kalau di Indonesia, tapi rempahnya lebih kental.” Jelas Hana sudah bersiap dengan celemek hijaunya. “Ini makanan favorit Bang Kibar, ah Raga juga.” Raut Hana sedikit berubah, ia menyembunyikannya di balik lemari es dan menyibukkan diri mengambil bahan untuk kare.

“Apa kalian ada masalah?” Aren memberanikan diri untuk sedikit terbuka. “Kak Hana sama Bang Raga,” lanjutnya. Ia melihat gerakan Hana terhenti, kemudian kembali sibuk, mengambil pisau dan mulai mengupas kentang.

“Mas Kibar sama Raga belum pernah cerita?”

“Seandainya mereka punya waktu untuk cerita.”

Hana terdiam. Ia tahu, ada sebuah jarak tidak terlihat antara para abang dengan adik bungsunya. Ia ada di dalamnya, dalam jarak yang dibuat Kibar dan Raga. Perasaannya semakin berat, ia tidak tahu sanggup membagi kisah lama dengan Aren atau tidak.

            Aren memegang tangan Hana. “Tidak perlu kalau sulit, Kak. Rasanya tidak adil kalau aku ingin tahu dan memaksa orang untuk memberi tahu. Padahal aku sendiri, lebih memilih tidak menjawab.” Hana terbelalak, kalimat terpanjang yang disampaikan Aren selama ia ada di sini. Perasaan Hana menghangat, diberinya Aren pelukan erat yang membuat adik iparnya itu kaget.

            “Jadi ini rasanya punya adik perempuan!”

            “Kak Hana ….”

            “Aku anak tunggal, Ren. Enggak tahu rasanya punya saudara, bertengkarnya, salah pahamnya, bahagianya. Jadi maaf kalau masih terkesan amatir tentang hubungan persaudaraan. Kebetulan, saudara sepupu juga cuma satu orang, jarak usianya jauh jadi beda generasi.” Tangannya kembali aktif mengupas dan memotong kentang bentuk dadu. “Jadi, kamu penasaran tentang kisah kami bertiga? Bagaimana aku bisa menikah sama abang tertua kamu, dan … kenapa Raga bersikap seperti itu?”

            “Aku,” Aren menatap lekat mata cokelat Hana. “Aku ingin tahu, Kak. Tentang para abang, tentang Kakak. Setidaknya dari Kak Hana. Jujur, aku belum siap kalau bicara lama dengan mereka berdua.” Tangan Aren menggamit ujung celemek yang dipakai Hana. “Tapi jangan bilang-bilang Bang Kibar sama Bang Raga.” Rona merah bersemu di kedua pipi Aren, Hana semakin gemas dan memeluknya sekali lagi. Sedikit kepercayaan dari Aren menumbuhkan rasa semnagat Hana sebagai kakak ipar, setidaknya keberadaannya sedikit diakui. Entah apa yang sudah disampaikan Raga, ada perubahan dalam diri Aren.

            “Sering-sering begini ya, Ren.”

Telah Terbit

Penulis: Dewi Arumsari

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya

Klasifikasi Dalam Fotografi

Berdasarkan Mirriam Webster, fotografi didefinisikan sebagai suatu seni atau proses produksi imaji dengan menggunakan radiasi energi terutama energi cahaya pada sebuah material sensitif cahaya, bisa

Read More »