Gajah Dalam Kosmologi Nusantara Bagian III: Konsepsi Sejarah dan Sastra

Selain terlihat dalam konsepsi relijius, hubungan unik antara manusia Nusantara dan gajah pun tercermin dalam konsepsi-konsepsi lainnya, salah satunya adalah sejarah dan sastra.

Sejarah sebagai time line perjalanan peradaban manusia kiranya menjadi salah satu unsur penting dalam melihat bagaimana hubungan antara gajah dan manusia Nusantara sebagai sama-sama penghuni alam raya. Selain sejarah, sastra pun dianggap unsur yang tak kalah penting untuk melihat hubungan tersebut. Posisi sastra dalam hal ini adalah sebagai alat dokumentasi berbagai peristiwa dan kejadian penting dalam sejarah. Selain temuan-temuan arkeologi, sastra pun merupakan salah satu medium penting untuk manusia-manusia modern Nusantara mengetahui dan mempelajari sejarah bangsanya.
Pembahasan tentang gajah dalam konsepsi sejarah dan sastra ini tentunya akan sangat luas, untuk itu bahasan ini akan dibatasi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha saja. Selain itu, contoh-contoh yang diangkat pun hanyalah beberapa contoh saja yang kiranya cukup mewakili konsepsi pemikiran manusia Nusantara pada era tersebut.

Gajah Mada

Siapa yang tak mengenal tokoh ini? Sejarah mencatat tokoh sentral pada era keemasan Majapahit ini sebagai salah satu tokoh terbesar Nusantara. Gajah Mada, tokoh yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya ini adalah Mahapatih teragung yang pernah dimiliki Wilwatikta- Majapahit. Menjabat sebagai Mahapatih sejak era pemerintahan duet ratu Tribuwana Tunggadewi dan Dyah Wijat Rajadewi Maharajasa hingga Rajasanagara – Hayam Wuruk, Gajah Mada disebut-sebut nyaris berhasil mempersatukan Nusantara, sesuai dengan bunyi sumpahnya ”Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa” – ”Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, telah tunduk, barulah aku akan beristirahat.”
Dalam berbagai sumber sejarah, Gajah Mada seringkali digambarkan sebagai tokoh yang merupakan simbol perjuangan. Ia bukanlah keturunan bangsawan atau pembesar-pembesar Wilwatikta pada saat itu. Gajah Mada lahir dari golongan rakyat biasa – meskipun belum diketahui asal-usul keluarganya. Karir politiknya di lingkungan keraton Wilwatikta pun dimulai dari posisi yang paling rendah. Berkat kedisiplinan serta kerja kerasnya Gajah Mada pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil menjadi komandan pasukan khusus Wilwatikta yang dikenal dengan nama pasukan Bhayangkara.
Atas jasa-jasanya yang berhasil menyelamatkan keraton dari berbagai pemberontakkan, seperti pemberontakkan Ra Kuti, Seda dan Kerta dll, Gajah Mada pun berhasil mencapai jabatan Mahapatih Amangkubumi – jabatan tertinggi bagi mereka yang bukan merupakan keturunan langsung dari raja. Perluasan wilayah Wilwatikta ke se-antero Nusantara pun disebut-sebut sebagai hasil dari kedisiplinan dan kerja keras Gajah Mada. Pengorbanannya dalam bentuk Sumpah Palapa pun seringkali disebut-sebut sebagai salah satu kunci kesuksesan Wilwatikata dalam mempersatukan hampir seluruh wilayah Nusantara.
Gajah Mada sebagai seorang individu yang hidup pada masa kerajaan Majapahit, pada dasarnya mewakili konsepsi pemikiran manusia yang masih menunjukkan suatu hubungan yang erat dengan alam – dalam hal ini hubungannya dengan hewan-hewan yang dianggap memiliki karakter-karakter baik yang dapat diteladani. Konsepsi pemikiran tersebut dapat dilihat dari penamaan Gajah Mada itu sendiri. Entah dimulai sejak kapan, namun penamaan seorang anak oleh orang tuanya biasanya disertai dengan harapan-harapan baik serta berbagai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sebuah nama yang dipilih – kebiasaan ini terbukti masih dijalankan hingga hari ini.
Hal yang sama pun dapat kita asumsikan serupa pada penamaan Gajah Mada oleh orang tuanya. Penyematan kata “Gajah” yang mengawali kata “Mada” dalam nama Gajah Mada, tentunya memiliki makna sendiri. Pemaknaan dari nama Gajah Mada itu pun dapat berasal dari berbagai konsep pemikiran, baik itu konsepsi Hindu-Buddha sebagai ajaran agama yang berkembang pada saat itu atau konsepsi pemikiran tentang berbagai filosofi yang terkandung di alam raya, terutama hewan-hewan yang pada saat itu dianggap istimewa – konsepsi pemikiran yang “mungkin” sudah ada sejak era animisme-dinamisme. Yang pasti, dari pembahasan di atas kita dapat melihat bahwa pada saat itu sudah terjalin hubungan yang erat antara gajah dan manusia Nusantara. Dapat kita katakan pula bahwa gajah sudah menempati posisi yang cukup penting dalam kebudayaan manusia Nusantara kala itu.

Prasasti kebon Kopi

Dalam konsepsi pemikiran era kerajaan Nusantara yang bercorak Hindu-Buddha, raja yang berkuasa dianggap sebagai penjelmaan, titisan atau inkarnasi dewa di muka bumi. Konsep ini, menurut almarhum Edi S, Ekadjati merupakan konsep dasar yang dirumuskan dalam Kultus Déwaraja. Dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Sunda, Zaman Padjadjaran, Edi S, Ekadjati pun mengatakan bahwa; “Menurut konsep tersebut, raja dipandang bukan hanya sebagai manusia, melainkan sebagai penjelmaan (titisan) dewa. Sebagai penjelmaan dewa, raja adalah manusia luar biasa yang mempunyai keunggulan dalam kekuatan jasadi dan rohani.” (Ekadjati., 2009 : 63)
Pada masa kerajaan dulu, untuk mendukung pengkultusannya sebagai dewa, raja dan pihak-pihak kerajaan biasanya mengungkapkan pengkultusan tersebut dalam bentuk arca atau dalam bentuk kalimat-kalimat yang menyetarakan kejayaan sang raja dengan keagungan dewa. Kalimat- kalimat tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk inskripsi, prasasti atau karya sastra. Pengabadian tersebut dapat diasumsikan bertujuan agar para generasi berikutnya dapat mengingat eksistensi sang raja yang setara dengan keagungan dewa-dewa dalam konsepsi Hindu-Buddha.
Dari berbagai temuan prasasti, inskripsi, arca maupun karya sastra, prasasti Kebon Kopi adalah salah satu yang mengungkapkan secara gamblang pengkultusan seorang raja. Selain itu, berkaitan dengan topik bahasan dalam tulisan ini, pada prasasti Kebon Kopi ini pun tercermin hubungan antara gajah dan kebudayaan manusia Nusantara. Prasasti ini ditemukan pada abad ke- 18 di kampung Muaram desa Ciarunteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat.
Pada saat itu di daerah kampung Muaram tersebut sedang dilakukan penebangan untuk membuka sebuah lahan yang akan dipergunakan sebagai perkebunan kopi. Pada proses penebangan itulah prasasti ini ditemukan. Oleh karena itu, prasasti ini dinamakan Kebon Kopi. Prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama N.W. Hoepermans pada tahun 1864. Pelaporan mengenai prasasti ini kemudian dilanjutkan oleh beberapa orang, yaitu ; J.F.G Brumun (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), D.J. Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), R.D.M. Verbeek (1891) dan J.P. Vogel (1925). Prasasti Kebon Kopi tersebut berbunyi seperti di bawah ini;
Jaya vicalasya tarumendrasya hastinah
Airavatabhasya vibhatidam padadvayam
Ini dua jejak telapak kaki Airawata yang perkasa dan cemerlang, gajah kepunyaan penguasa Taruma yang membawakan kemenangan
Menurut sebuah sumber, prasasti Kebon Kopi ini dipahatkan pada salah satu bidang permukaan batu yang berukuran cukup besar. Kalimat yang merupakan konten utama dari prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan dengan bahasa Sanskrit yang disusun ke dalam bentuk Seloka Metrum Anustubh. Pahatan kalimat tersebut kemudian diapit oleh pahatan gambar telapak kaki gajah. Menurut sumber penelitian sejarah, prasasti ini berasal dari zaman kerajaan Tarumanagara ketika berada di bawah pemerintahan Purnawarman (395-434 M).
Tafsiran mengenai prasasti Kebon Kopi serta hubungan antara gajah dengan kebudayaan manusia Nusantara yang terkandung di dalamnya telah diungkapkan oleh almarhum Edi S. Ekadjati, dalam buku yang sama ia mengatakan;
Pada prasasti Kebon Kopi dikemukakan bahwa tapak kaki raja Purnawarman dipandang sebagai tapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa dalam agama Hindu (Trimurti). Binatang tunggangan raja, yaitu gajah, dipandang sebagai Airawata, yaitu gajah tunggangan Dewa Wisnu. Hal itu menunjukkan adanya pandangan dan kepercayaan yang mempersamakan Purnawarman dengan Dewa Wisnu dan gajah tunggangan raja dengan gajah (Airawata) tunggangan dewa. Manusia (raja) dan binatang (gajah) dipersamakan dengan dan dipuja sebagai dewa.” (Ekadjati., 2009 : 63)
Berdasarkan kutipan di atas, jelas terlihat bahwa prasasti ini mengemukakan suatu pengkultusan bukan hanya terhadap raja yang dikultuskan sebagai dewa – dalam hal ini adalah raja Purnawarman, penguasa Tarumanagara tetapi juga terhadap gajah, sebagai tunggangan raja yang dikultuskan sebagai tunggangan dewa. Gajah (tunggangan raja) yang merupakan hewan biasa saja dianggap sebagai salah satu dewa (Airawata) dalam konsepsi kebudayaan manusia zaman Tarumanagara. Hal ini tentunya sesuai dengan konsepsi Hindu-Buddha yang memposisikan gajah sebagai hewan istimewa (lihat Gajah Airawata- Gajah Budaya Nusantara I).
Dari pembahasan Gajah Mada dan Prasasti Kebon Kopi ini, kita berhasil membuktikan bahwa pada awal era kerajaan Hindu-Buddha hingga ke masa-masa akhirnya di era Majapahit, sosok hewan gajah memang menempati posisi istimewa di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara pada masa-masa itu. Hal ini terjadi karena ada dukungan yang kuat dari konsepsi pemikiran masyarakat yang pada masa itu didominasi oleh corak Hindu-Buddha. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana posisi gajah dalam kebudayaan manusia Nusantara yang tercermin dalam karya sastra.

Gajah Lumantung

Perjalanan sejarah kebudayaan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari dunia sastra yang berada di dalamnya. Atas pendapat ini pula dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu bangsa manapun di dunia ini yang tidak memiliki tradisi sastra. Begitu pun bangsa Indonesia. Sastra yang kita pelajari sejak bangku sekolah dasar umumnya terdiri dari dua jenis, yaitu; sastra tulis dan sastra lisan. Sebelum manusia mengenal tulisan, mereka terlebih dahulu mengenal tradisi lisan, begitu pun dengan sastra.
Sastra yang lebih dulu berkembang di kebudayaan suatu bangsa dapat dikatakan adalah tradisi sastra lisan. Di Nusantara, khususnya di tanah Sunda, tradisi sastra yang dianggap paling tua adalah tradisi sastra lisan. Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang disusun sektar tahun 1518 mencatat ada tiga buah bentuk sastra lisan, yaitu; Pantun, Carita dan Kawih. Salah satu bentuk dari tradisi sastra lisan yang paling banyak ditemukan di tanah Sunda adalah bentuk Pantun.Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya
Ajip Rosidi dkk, dalam buku Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya mengungkapkan tentang pantun sebagai berikut;
Ceritanya dimulai oleh rajah pembuka yang meminta selamat kepada Tuhan, dewa, tokoh keramat, dan do’a; kemudian deskripsi aneka macam keadaan dan peristiwa di dalam dan di luar kerajaan, seperti keraton, kecantikan puteri, satria berdandan, puteri menenun, si lengser, keangkeran hutan, keindahan angkasa waktu tokoh utama terbang, perang tanding pelaku utama dengan musuhnya, serta diakhiri dengan rajah penutup. Cerita pantun pada umumnya mengisahkan putera raja Pajajaran yang mengalami berbagai kesulitan dalam pengembaraan, tetapi akhirnya mendapatkan kebahagiaan atau raja lain yang kemudian mengabdi kepada raja Pajajaran atau sebuah kerajaan di Tanah Sunda pada zaman pra Islam.” (Rosidi dkk., 2000: 150, 137)
Berbagai lakon pantun di tanah Sunda pada umumnya diwarnai dengan beragam peristiwa yang dalam konsep pemikiran kekinian sering disebut ”ajaib”. Tokoh-tokoh dalam berbagai pantun itu pun memiliki kekuatan dan kemampuan yang berada di luar logika manusia saat ini. Terbang, bernafas dalam air, mengecilkan dan membesarkan tubuh dalam ukuran yang ekstrem, berubah wujud, mati dan kemudian hidup kembali serta berbagai aktivitas ajaib lainnya kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh di dalam pantun.
Hal ini tentu saja bersebrangan dengan logika kita, namun pada zaman itu, mungkin, hal-hal seperti ini sangat logis diterima oleh akal pikiran. Meskipun banyak ditemukan berbagai aktivitas-aktivitas ajaib yang dilakukan oleh para tokoh di dalam pantun, namun tidak sembarang tokoh dapat melakukan berbagai aktivitas ajaib tersebut. Hanyalah tokoh yang merupakan manusia paripurna saja-lah yang memiliki kemampuan ajaib tersebut. Dengan kata lain, hanya manusia yang bersih dan suci baik lahir maupun batin, manusia yang memiliki aspek-aspek tuhan dalam dirinya, berbudi luhur serta manusia yang sudah mencapai kesempurnaan secara jasadiah maupun rohaniah.
Gajah Lumantung adalah salah satu lakon pantun yang terkenal, ia pula yang menjadi tokoh utamanya. Dari konsepsi mengenai tokoh-tokoh pantun yang sudah diuraikan sebelumnya, maka dapat kita katakan bahwa tokoh Gajah Lumatung dalam pantun adalah sosok manusia yang paripurna atau manusia yang sudah mencapai kesempurnaan lahir dan batin.
Jika memang demikian, maka terlihat sudah hubungan dan posisi gajah dalam konsepsi kebudayaan manusia Nusantara, terutama dalam kebudayaan Sunda yang tercermin dalam karya sastra. Penyematan kata ”Gajah” di depan kata ”Lumantung” tentunya memiliki sebuah makna penting dalam mempertegas ke-paripurnaan tokoh ini. Kita dapat berasumsi bahwa penyematan kata ”gajah” dalam penamaan tokoh ini dapat merupakan sebuah simbol. Simbol dari hal-hal yang bernilai baik dan luhur. Hal ini tentunya sedikit banyak mengindikasikan bahwa logika masyarakat pada zaman penciptaan pantun ”Gajah Lumantung” ini mengarah pada sebuah pengkultusan hewan gajah sebagai hewan yang memiliki nilai-nilai yang luhur.

Gajah dalam Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian

Di antara berbagai karya sastra kuno yang menjadi kebanggaan Nusantara tercatat pula dalam sejarah, kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang merefleksikan intelektualitas dan konsepsi pemikiran manusia Sunda pada era pra Islam. Elis Suryani NS dalam bukunya Ragam Pesona Budaya Sunda mengungkapkan Naskah ini memberikan gambaran tentang pedoman dan tuntunan moral umum untuk kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai ilmu pengetahuan yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan pembicaraannya berpijak kepada kehidupan di dunia dalam hal bernegara. (Elis Suryani, 2011: 133).
Dari informasi tersebut terungkap bahwa salah satu aspek penting yang terdapat dalam kitab ini adalah pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia untuk menjalankan kehidupannya. Edi S. Ekadjati pun dalam bukunya Kebudayaan Sunda Zaman Padjadjaran mengungkapkan bahwa Sanghyang Siksa Kandang Karesian menyatakan bahwa salah satu sumber pengetahuan itu adalah apa yang dikatakan oleh sang darma pitutur atau leluhur. Jadi orang Sunda dulu mengakui pengalaman manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Edi S. Ekadjati, 2009: 238). Seperti berbagai karya sastra kuno yang lain di Nusantara, kitab ini pun mengungkapkan berbagai gagasan yang ada di dalamnya secara simbolik dan puitis, 
“tandaka carita hangsa,
Gajendra carita banem,
matsyanem caita sagarem,
puspanem carita bangbarem.”
telaga dikisahkan angsa,
Gajah mengisahkan hutan,
ikan mengisahkan laut,
bunga dikisahkan kumbang.”
(Atja & Saleh Danasasmita, 1981a: 13, 39; Danasasmita dkk., 1987: 82-83, 106) Maksudnya, angsa, gajah, ikan dan kumbang menjadi sumber pengetahuan yang masing-masing bertalian dengan telaga, hutan, laut dan bunga karena sehari-harinya angsa hidup dan berhubungan dengan telaga, gajah dengan hutan, ikan dengan laut (air) dan kumbang dengan aneka macam bunga. Orang yang menekuni pedoman hidup, jernih pikiran, hasratnya bergelora ibarat angsa berada di telaga yang airnya bening.
Orang yang ingin tahu tentang budi raja dan mahapendeta diibaratkan dengan ikan yang hidup di air laut (air). Orang yang ingin tahu tentang kemauan orang banyak dan kekuatan sang raja diibaratkan dengan gajah yang hidup di dalam hutan. Dan orang yang gemar mengembara dan ingin tahu tentang sifat dan perilaku manusia yang sempurna tingkah lakunya, manis tutur katanya dan selalu tersenyum penuh kebahagiaan, diibaratkan dengan bunga. (Edi S. Ekadjati, 2009: 239).
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian mengungkapkan gagasan tentang ilmu pengetahuan dengan pengibaratan hewan-hewan terpilih; angsa, gajah, ikan dan kumbang. Pemilihan tersebut tentu saja tidak secara asal dilakukan, ada karakteristik tertentu yang terlihat dari hewan-hewan tersebut. Dapat kita lihat bahwa hewan-hewan yang terpilih itu merupakan hewan yang merajai atau menguasai habitat yang disebutkan, misalnya angsa yang menguasai telaga, gajah menguasai hutan, ikan menguasai air, dan kumbang yang selalu berkaitan erat dengan bunga. Berkaitan dengan subjek tulisan ini, maka selanjutnya kita akan mengerucutkan bahasan pada sosok gajah saja.
Hadirnya sosok gajah sebagai pengibaratan dari penguasa hutan harusnya menggelitik rasa penasaran kita, apalagi pengibaratan tersebut berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Seperti kita tahu dalam istilah-istilah umum yang ada dalam masyarakat, terutama masyarakat Sunda, penguasa hutan adalah harimau, yang kelak menjadi salah satu ikon dan simbol dari masyarakat Sunda (Baca Harimau, Kandidat Hewan Mitologi Nusantara). Selain itu, kita pun tahu bahwa tanah Pasundan bukanlah salah satu habitat mamalia darat terbesar tersebut. Jadi apa alasan mendasar masyarakat Sunda pada zaman itu yang melibatkan sosok gajah dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian?
Jika kita telusuri lagi, kitab ini dibuat pada abad ke-16 Masehi, […] pada bagian akhir teksnya tercantum candrasangkalanora catur sagara wulan” (1140 Saka/1518 Masehi atau abad ke-16 Masehi) (Elis Suryani NS, 2011: 131). Pada abad ini masyarakat Sunda masih dapat dikatakan hidup pada zaman pra Islam, artinya masyarakat Sunda hidup dalam konsepsi Hindu-Buddha (baca Gajah dan Budaya Nusantara I) seperti kita tahu, gajah dalam konsepsi Hindu-Buddha memiliki posisi yang cukup penting, hal ini dibuktikan dengan kehadiran dewa Ganesha dan gajah Airawata.
Asumsi ini kemudian dapat diperkuat dengan aspek-aspek kedewaan Ganesha yang dianggap sebagai dewa ilmu pengetahuan. Dari asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konsepsi pemikiran masyarakat Sunda pada abad ke-16 Masehi, sosok gajah masih menempati posisi penting dan dianggap sebagai hewan yang memiliki nilai-nilai luhur. Berbagai konsepsi mempengaruhi pola pikir ini, selain konsepsi Hindu-Buddha, pola pikir masyarakat Sunda kuno pra Hindu-Buddha pun turut serta berkontribusi – dapat dilihat dari pola pikir yang menaungi kemunculan berbagai karya sasta lisan Sunda kuno, salah satunya adalah pantun Gajah Lumantung.

Gajah dalam Budaya Kekinian

Banyak definisi yang dapat menjelaskan apa itu modern, modernitas, modernisme. Berbagai kajian dan penelitan sudah banyak dilakukan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan modern dan bagaimana pola pikir masyarakat pada era modern. Batas-batas yang menentukan suatu bangsa ketika masuk era modern pun sudah banyak dijelaskan dan akan terlalu panjang rasanya jika dibahas dalam tulisan ini.. Dalam persepsi negara-negara barat, suatu bangsa akan masuk dalam era modern ketika masyarakatnya sudah dapat mengadaptasi pola pikir, pendidikan, gaya hidup dan budaya negara-negara barat. Nusantara sendiri akan memasuki era modern ketika diterapkannya politik etis oleh kerajaan Belanda di awal abad ke-20.
Masuknya Nusantara ke era modern diiringi pula dengan berubahnya konsepsi pemikiran masyarakat yang banyak disebut dengan konsep pemikiran klasik, tradisional atau primitif menjadi konsep pemikiran modern yang kemudian banyak disebut dengan modernisme. Pola pikir ini dapat dikatakan bersifat ambivalen, satu sisi mengantar pada kemajuan untuk kesejahteraan di sisi lain pola pikir tersebut menegasikan akar-akar kultural yang sudah berabad-abad menjadi identitas dan pedoman hidup masyarakat Nusantara, walhasil ’krisis identitas’ pun tersemat di masyarakat Nusantara. Belum habis masyarakat Nusantara dengan problematika identitas ini pada akhir abad ke-20, kita pun dihantam oleh lahirnya pola pikir kontemporer atau posmodernisme yang menentang modernisme sebagai pendahulunya.
Cukup panjang perjalanan bangsa ini, sejak masa klasik – era pra Hindu-Buddha, Hindu-Buddha, Islam, modern dan posmodern, namun bangsa ini tetap bertahan dengan caranya sendiri, baik itu dengan cara mengelaborasi berbagai konsepsi pemikiran atau bahkan dengan mengakulturasinya. Isu identitas-lah yang membuat bangsa ini bertahan. Akar-akar kultural bangsa ini harus tetap dipertahankan, karena itulah yang membedakan Nusantara dengan bangsa-bangsa lainnya. Hal ini pula yang kemudian menjadi tolak ukur kita untuk melihat posisi sosok gajah dalam budaya masyarakat Nusantara sekarang ini.
Gajah dengan kelebihannya sebagai mamalia darat terbesar dan salah satu hewan terpandai di dunia yang memiliki volume otak yang besar tetap menempati posisi penting dalam pola pikir manusia Indonesia sekarang ini. Pada masa klasik, gajah hampir selalu diidentikan dengan ilmu pengetahuan, konsepsi inilah yang masih dipertahankan.
Jika pada masa Hindu-Buddha, sosok gajah dipandang dari sisi religuitas, didewakan dalam bentuk Ganesha dan Airawata, pada masa sekarang ini, sosok gajah ”didewakan” sebagai simbol atau lambang dari institusi negara, terutama pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam bentuk yang berbeda-beda, sosok gajah hadir pada lambang tiga universitas terbesar di Nusantara; Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan lambang dewa Ganesha, Universitas Indonesia (UI) dengan lambang Makara (baca Gajah dan Budaya Nusantara I) yang distilasi dan Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan lambang surya yang bersinar.
Kembali pada sifat pola pikir modern yang ambivalen, hal ini pun berdampak pada posisi gajah dalam masyarakat Nusantara. Dalam pola pikir modern terutama dalam pranata pendidikan, masyarakat yang mengeyam pendidikan tinggi kemungkinan besar timbul kesadaran akan terancamnya populasi gajah di dunia, terutama gajah Sumatra yang berhabitat di Nusantara. Sayangnya kesadaran tersebut tidak mempengaruhi pranata-pranata kehidupan yang berkaitan dengan ekonomi, kapitalisme mengurung manusia dalam pragmatisme.
Hal ini menyebabkan manusia kehilangan kesadaran akan kehidupan harmonis dengan alam, khususnya dengan gajah sebagai bagian dari alam. Asumsi ini menjelma menjadi fakta dengan munculnya perburuan liar dan penyempitan habitat akibat eksploitasi alam, entah itu untuk perluasan perkebunan dan sebagainya. Lalu solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi problematika ini? Tentu saja sudah banyak solusi dan berbagai usaha yang diupayakan, salah satunya adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Taman Nasional Way Kambas yang berfokus pada konservasi gajah Sumatra, namun belum cukup tentunya jika usaha-usaha solutif tersebut tidak didampingi oleh kesadaran untuk hidup harmonis dengan alam dari unsur-unsur masyarakat lainnya, terutama dari kita sebagai individu yang hidup berdampingan dengan alam. (pj)

Tulisan Sebelumnya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya