Setahun lebih tinggal di Pulau Dewata mendatangkan kerinduan akan kampung halaman. Salah satu yang khas dari tanah Priangan adalah gelaran Wayang Golek yang sarat akan filosofi kehidupan, wejangan-wejangan hidup serta berbagai kritik social dalam balutan banyolan-banyolah khas Punakawan. Kerinduan itu segera terpuaskan begitu pulang kembali ke kota Bandung, kota yang selalu dihiasi oleh imut manis para wanoja Sunda – senyum manis para gadis Sunda. Dengan meng-copy dari hard disk seorang sahabat, didapatlah sebuah Lakon Wayang Golek berjudul “Kumbakarna Gugur” yang dituturkan oleh seorang dalang kawakan, H. Asep Sunandar Sunarya bersama Giri Harja 3 nya.
Awalnya hanya sekedar menyimak lakon wayang golek tersebut, namun kemudian muncul keinginan untuk menelaah dan mencari informasi lebih jauh. Tokoh Kumbakarna sebagai tokoh utama dalam lakon “Kumbakarna Gugur” melahirkan sebuah ketertarikan tersendiri serta memancing kuriositas yang tinggi untuk mengenal sosoknya lebih jauh. Dengan mengacu pada lakon “Kumbakarna Gugur” versi H. Asep Sunandar Sunarya, tulisan ini akan mencoba menggali sisi lain dari Arya Kumbakarna.

Kelahiran Kumbakarna
Nama Kumbakarna berasal dari Bahasa Sansekerta. Kumba berarti panjang dan Karna berarti telinga. Kumbakarna digambarkan sebagai seorang yaksa – raksasa setinggi gunung dengan wajah yang mengerikan serta memiliki telinga yang panjang. Kumbakarna yang juga disebut dengan nama Arya Lemburgangsa ini merupakan putra kedua dari pasangan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ia mempunyai kakak bernama Rahwana dan adik perempuan bernama Sarpakenaka. Ketiga kakak beradik denawa – raksasa ini adalah buah cinta terlarang dari orang tua mereka.
Wisrawa berasal dari Kerajaan Lokapala dan telah menyerahkan tahta kerajaan kepada anaknya, Prabu Danaraja. Beliau sendiri lebih memilih untuk menyepi dan mendalami ilmu religi sebagai seorang rsi. Demi meluluskan keinginan anaknya untuk mempersunting Dewi Sukesi maka beliau pergi dan mengikuti sayembara untuk memperoleh istri bagi anak kesayangannya tersebut. Sayembara yang memperebutkan Dewi Sukesi ini diprakarsai oleh Prabu Sumali, seorang raja denawa yang bijak pemimpin tertinggi di Kerajaan Alengka. Rsi Wisrawa dapat memenangkan sayembara tersebut setelah sebelumnya mengalahkan Arya Jambumangli, ia merupakan adik dari Prabu Sumali, ayahanda Dewi Sukesi dan sekaligus merupakan Sang Jago Sayembara. Jambumangli, sang raksasa sakti yang sombong akhirnya mati mengenaskan dengan kepala serta kedua tangan dan kaki tanggal dari tubuhnya. Ternyata Dewi Sukesi, Sang Putri tercantik dari Kerajaan Alengka mempunyai syarat lain, yaitu calon suaminya haruslah seorang ahli sastra yang dapat menjabarkan isi sitab sakti Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepadanya. Karena semata-mata demi anaknya, maka Rsi Wisrawa menyanggupi syarat masygul tersebut dan menjelaskan isi kitab sakti raja-diraja segala ilmu pengetahuan di bumi kepada Dewi Sukesi di Taman Keputren Kerajaan.
Begitu seriusnya mempelajari kitab sakti, hingga mereka tidak sadar telah membangkitkan supiyah – nafsu berahi dalam diri mereka yang menutup kesadaran dan akhirnya mendorong mereka melakukan sebuah aib besar. Nasi sudah menjadi bubur, Dewi Sukesi akhirnya mengandung dan melahirkan segumpal darah bercampur dengan sebentuk telinga dan kuku dari rahimnya. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Telinga menjadi raksasa setinggi gunung yang bernama Kumbakarna, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi juga mempunyai seorang putera lagi bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berwujud manusia sempurna dengan wajah yang tampan, karena terlahir dari cinta sejati dan jauh dari hawa nafsu kedua orang tuanya.
