Tiga Serangkai dan Warisannya pada Seni Rupa Indonesia Modern.

poster tiga serangkai seni rupa

Seni rupa Indonesia modern tidak terlepas dari tokoh-tokoh penggeraknya. Jika dalam sejarah pergerakan politik indonesia ada Tiga Serangkai, sebagai figur-figur kuncinya. Begitu pun dengan seni rupa indonesia yang memiliki S. Sudjojono, Basuki Abdullah dan Affandi.

Tanpa mengecilkan tokoh-tokoh lainnya, tiga serangkai inilah yang dipandang berjasa dalam membentuk seni rupa Indonesia ke arah yang lebih “modern.”
Istilah “modern” dapat diartikan dari berbagai dimensi. Boleh secara etimologis. Boleh juga secara definitif dalam konteks kebudayaan. “Modern” dapat juga dimaknai sebagai “turning point” – titik balik dari suatu praktik, tradisi atau kebiasaan yang sudah obsolete -usang. Dalam hal ini, “usang” dimaknai sebagai kondisi stagnan yang tidak relevan lagi dengan kondisi zamannya.
Seni rupa pada dasarnya sama sekali bukanlah hal yang asing bagi bangsa ini. Seni sudah hidup berabad-abad lamanya di tengah-tengah masyarakat nusantara. Hanya saja, seni dalam konteks ini masih berupa pelayanan terhadap kepentingan relijius dan spiritualitas. Ia bersifat kolektif. Seni dalam hal ini, dipandang sebagai sebagai buah dari gotong-royong dalam bentuk pengabdian.
Hal tersebut jelas berbanding terbalik dengan apa yang dibawa oleh seni modern. Di mana suatu karya seni itu bersifat individual yang mengedepankan kreator di balik penciptaan karyanya.
Cara kerja seni seperti ini bertahan cukup lama, bahkan hingga hari ini. Di masa sekarang, seni semacam itu, kerap dilabeli sebagai seni tradisi atau seni pra-modern, apa pun bentuk dan medianya.
Sebenarnya, ada juga pengecualian. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam beberapa karya seni justru mengedepankan kreator atau konseptornya. Misalnya untuk sastra, Mpu Tantular dikenal sebagai pengarang kitab Sutasoma dan Kakawin Arjuna Wiwaha oleh Mpu Kanwa. Ada pula Mpu Panuluh sebagai penggubah kakawin Gatotkacasraya, Hariwangsa dan Bharatayuddha atau Mpu Prapanca sebagai pengarang dari Kitab Negarakertagama.
Dalam bidang seni pertunjukkan ada Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai pencipta tarian Bedhaya Ketawang. Dalam seni musik, ada Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai penggubah tembang ilir-ilir. Sementara di dunia seni rupa, dikenal Gunadharma sebagai arsitek dari candi Borobudur.
Dengan data-data tersebut, seharusnya dilakukan penelusuran lebih lanjut. Apakah memang benar seni pramodern atau seni tradisi di nusantara hanya bersifat kolektif? Apakah seni dalam masa itu hanya berfungsi sebagai pelayan relijius dan spiritualitas? Ataukah ada hal lain yang belum terungkap?
Dengan demikian, “modern” dalam seni, bukan hanya menerabas persoalan kolektif – individu, pengabdian – non pengabdian, atau relijius – non relijius saja. Untuk bangsa kita, nampaknya istilah “modern” memiliki peranan yang lain. Peranan yang mungkin pada waktu itu sudah disadari dan dipahami oleh figur-figur seperti S. Sudjojono, Basuki Abdullah dan Affandi.

Selanjutnya

Sumber:

https://id.wikipedia.org/
http://museumbasoekiabdullah.or.id/
http://ssudjojonocenter.com/
http://www.affandi.org/
http://archive.ivaa-online.org/
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel lainnya

Pantai Geger Bali yang Mempesona

Bagi mereka yang pernah ke Bali dan kemudian mengunjunginya lagi tentu bertanya-tanya dan mencari apa lagi obyek wisata yang belum pernah dikunjung. Atau Bahkan mencari

Read More »