Di Cirebon, hampir setiap sudut kotanya memiliki kisah. Mulai dari sejarah, mitos, legenda, budaya, hingga sekedar kisah romantisme percintaan seorang kawan. Atau mungkin anda yang memiliki “kenangan” di kota udang?
Yang pasti, sudah lebih dari jutaan kisah tersimpan di kota terbesar ke-2 di Jawa Barat tersebut. Sedikit banyak, kisah-kisah itulah yang memancing saya dan beberapa orang kawan untuk menyusuri dan menjelajah sudut-sudut kota yang dulu sempat disebut dengan nama Caruban Larang.
Rasanya tak berlebihan jika ada opini yang menyebutkan bahwa menjelajahi sudut- sudut kota Cirebon itu hampir sama dengan membaca buku sejarah Nusantara. Ya memang tidak berlebihan, mengingat Cirebon memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Bagaimana tidak? Kota yang memiliki tidak kurang dari tiga keraton di dalamnya ini bukan hanya berperan sebagai salah satu subkebudayaan Tatar Sunda saja. Kota ini juga memiliki peranan penting sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara pada abad ke-15 Masehi. Berbicara tentang proses penyebaran Islam di Tatar Pasundan, Kota Cirebon memiliki posisi penting. Sebagai poros penyebaran islam dan Kanjeng Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah sebagai tokoh utamanya. Berdasar pada opini tersebut, maka akan sangat tepat jika kunjungan ke Cirebon diawali di salah satu sudut yang berjarak sekitar 15 Km dari kota Cirebon.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari kota Cirebon, akhirnya saya dan beberapa orang kawan tiba di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati. Di tempat inilah sekitar 443 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1568, Syarif Hidayatullah dikebumikan, beliau wafat pada usia 120 tahun.

Berjalan menuju pelataran parkir, berjajar kios-kios sederhana menjajakan berbagai jenis barang-barang yang biasa digunakan untuk ziarah kubur. Belum sempat melepas lelah, kami langsung dihampiri oleh seseorang yang menawarkan diri untuk memandu kami ke dalam kompleks makam. “Saya antar sampai ke tempat yang paling dekat dengan makam Sunan,” ujarnya. Akhirnya kami pun tidak ada pilihan untuk menggunakan jasanya, karena sejak awal kami datang ia selalu membayang-bayangi kami. Sebelum memasuki areal kompleks makam, ia sempat memperingatkan bahwa nanti akan ada banyak orang yang meminta infaq – shodaqah yang tidak resmi. ”Jangan ada yang mulai memberi,” begitu ujarnya menasehati kami.
Benar saja peringatan si juru pandu, begitu mendekat ke gapura berbentuk Candi Bentar, kami pun langsung diberondong oleh kotak-kotak amal hingga menjelang sampai di bangunan utama. Apa daya kami pun akhirnya memberi seadanya. Sampai di bangunan utama, kami ternyata masih harus memberikan dana ”se-ridhonya” tersebut. ”Ini yang resmi, yang seharusnya disumbang, bukan yang di luar itu,” ujar si juru pandu. Agak bingung sebenarnya, mungkin di dalam masih ada lagi, pungutan-pungutan seperti ini, siapa tahu? Lalu, yang mana yang benar-benar resmi, yang disalurkan untuk pemeliharaan makam?
Setelah ”menyumbang” sana-sini, kami pun berjalan semakin ke dalam melewati puluhan makam. Menurut penuturan sang juru pandu, makam tersebut merupakan makam para santri kanjeng Sunan di pesantren Pasambangan. Serta makam para bangsawan-bangsawan yang ikut menyebarkan Islam bersama kajeng Sunan. Seraya menaiki tangga, di timur makam terdapat mesjid yang diberi nama Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng. Sayangnya kami tidak sempat memasuki mesjid tersebut. Seraya berjalan menuju lokasi yang dituju, pemandu bercerita bahwa selain makam Sunan, di dalam ruangan utama terdapat pula, makam ibunda Sunan, Nyi Rara Santang. Yang bersama Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon sekitar tahun 1475. Selain ibundanya, ada pula makam paman Sunan, yaitu Kiansantang atau Pangeran Cakrabuwana yang pada sekitar tahun 1479 menyerahkan kekuasaan serta tugas membangun Caruban Larang kepada Sunan. Menyertai tiga orang tokoh tersebut, dikebumikan pula di dalam ruangan yang sama, Fatahillah atau Tubagus Pasai, panglima Demak yang membantu Cirebon dalam menaklukan kekuatan gabungan Padjadjaran dan Portugis.
