Istilah Hyperfocal sekarang ini mungkin menjadi agak kurang familiar. Apalagi untuk mereka para fotografer yang baru saja mendalami fotografi di era digital saat ini.
Dengan perkembangan teknologi fotografi yang ada sekarang ini, seseorang dapat dengan mudah menghasilkan foto-foto yang bagus.
Apalagi ditambah dengan dukungan berbagai aplikasi editing yang super canggih. Memotret kemudian menjadi tidak lagi sesulit dahulu yang membutuhkan berbagai perhitungan dan persiapan yang matang.
Namun, terkadang, semakin lama kita mendalami fotografi, maka kita pun semakin banyak menemukan berbagai kelemahan yang ada pada foto-foto kita. Dan semakin banyak kelemahan yang kita temukan, maka kita pun akan semakin paham bahwa ternyata fotografi tidaklah semudah dan sesederhana yang kita pikirkan.
Sebagai contoh kasus, kita ambil genre fotografi Landscape. Genre yang juga menjadi topik bahasan kita di artikel ini.
Fotografi Landscape dapat digolongkan sebagai salah satu genre fotografi yang paling tua. Sejak awal kelahirannya, obyek-obyek landscape dengan beragam bentuknya sudah menjadi “langganan tetap” sebagai subject matter di dalam fotografi. Bahkan, Landscape selalu menjadi obyek favorit para fotografer mulai dari generasi perintis hingga sekarang ini.
Dunes, Oceano, California, Ansel Adams, 1963.
Popularitas Landscape di dalam fotografi bukannya tanpa alasan. Genre Landscape yang meliputi berbagai medium artistik seni, memiliki makna yang sangat luas. Landscape dapat dimaknai sebagai hasil penerjemahan akan keterpukauan kita terhadap berbagai wajah alam, baik itu indah atau buruk, suram atau cerah, maupun gelap atau terang ke dalam berbagai medium artistik seni.
Dengan begitu, Landscape adalah persoalan “mencari.” Mencari wajah-wajah alam yang membuat kita terpukau. Berbeda dengan medium artistik lainnya, Landscape di dalam fotografi tidaklah bersifat “membuat.” Melainkan merekam dan memindahkan realitas wajah-wajah alam itu ke dalam realitas lainnya, baik dalam bentuk lembaran foto atau file-file digital. Hal ini sesuai dengan sifat alamiah fotografi itu sendiri yang mampu merekam dan memindahkan realitas dengan cara yang jujur.
Membuat Foto Landscape.
Dalam membuat foto Landscape, seorang fotografer hanya perlu menjelajahi dan mencari wajah-wajah alam yang membuatnya terpukau. Ia tidak perlu merekayasa sesuatu untuk bisa mendapatkan sebuah foto Landscape yang indah. Sebaliknya, seorang fotografer harus tunduk pada sifat natural alam, dan menunggu hingga alam itu menunjukkan wajah terindahnya.
Dengan proses yang seperti itu, wajar jika kemudian genre Landscape menjadi favorit bagi para fotografer. Tanpa perlu repot-repot “membuat,” seorang fotografer hanya perlu “meminjam” keindahan wajah alam untuk kemudian dijadikannya sebagai foto yang indah. Oleh karena itu, tak heran jika kemudian banyak yang memandang Landscape sebagai genre fotografi yang paling mudah.
Tetapi, apakah benar demikian?
Ketika kita menemukan suatu pemandangan yang indah dan kemudian kita ingin merekamnya melalui kamera kita. Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar dapat merekam keindahan itu?
Apakah keindahan itu sesuai dengan apa yang kita lihat dengan mata kita?
Apakah rekaman atau foto yang kita hasilkan dapat mengingatkan kita pada keindahan yang kita lihat?
Permasalahan yang sering terjadi adalah foto yang kita hasilkan ternyata tampil berbeda dengan apa yang kita lihat dari mata kita. Foto tidak menampilkan keindahan seperti apa yang kita lihat pada realitas sebenarnya. Tentu saja hal ini akan bergantung pada banyak faktor.
Misalnya apakah kita sudah memakai jenis lensa yang tepat? Untuk hal ini bisa dibaca pada artikel jenis-jenis lensa dan artikel tentang Focal Length. Atau misalnya apakah kita sudah mengatur kombinasi aperture, speed dan ISO dengan benar? Tentang kombinasi ini bisa dibaca juga pada artikel Fotografi dari Era Analog hingga Digital.
Karakteristik Depth of Fields pada Fotografi Landscape.
Membuat foto Landscape intinya merekam wajah alam yang kita lihat dari mata kita melalui kamera. Oleh karena itu, apa yang tampak pada foto yang kita hasilkan harus membawa nuansa dan mood dari wajah alam itu, seperti apa yang kita lihat dan rasakan ketika melihatnya secara langsung.
Umumnya, sebuah Landscape alam akan tampak tajam menyeluruh mulai dari foreground hingga background pada mata manusia dalam kondisi “normal.” Bayangkan kita melihat suatu pemandangan dengan foreground berupa bangunan pura Hindu dengan latar belakang atau background samudera Hindia dalam suasana sunset.
Apa yang kita lihat itu akan tampil dengan fokus yang tajam, mulai dari bangunan pura, lautan, temaram langit senja hingga pada cakrawala di ujung pandangan kita. Hal ini berarti mata manusia menampilkan depth of fields – DOP yang tajam dan menyempit ketika melihat pemandangan itu.
Hal yang sama juga harus kita perlakukan pada kamera kita. Artinya, kita harus mengatur, elemen-elemen Speed, ISO dan Aperture agar menampilkan karakteristik foto dengan DOP yang sama seperti yang ditampilkan oleh mata kita. Umumnya untuk menampilkan DOP yang tajam dan sempit, kita harus menggunakan aperture yang kecil atau yang berangka besar, misalnya f/8, f/10, f/22 dan lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan mengatur DOP, kita sudah bisa mendapatkan ketajaman yang menyeluruh? Seperti apa yang ditampilkan oleh mata kita?
Jika belum mendapatkan hasil yang maksimal, mungkin saatnya kita untuk menggunakan Hyperfocal sebagai tehnik untuk mendapatkan ketajaman yang menyeluruh.
Hyperfocal dan Ultimate Sharpness.
“Ketika lensa difokuskan pada jarak hyperfocal, kedalaman bidang – depth of field akan bertambah (extends) dari setengah jarak hyperfocal hingga pada jarak yang tak hingga (infinity)”
– Photography, Phil Davis 1972.
“Jarak hyperfocal adalah titik fokus di mana semuanya dari mulai setengah jarak hingga infinity berada di dalam depth of field”.
-John Shaw’s Landscape Photography, John Shaw 1994.
Definisi hyperfocal itu sendiri rasanya bisa diwakilkan oleh kutipan-kutipan di atas. Intinya hyperfocal adalah satu tehnik dalam forografi yang dapat menghasilkan ketajaman menyeluruh pada obyek yang kita pilih framing untuk difoto. Tentunya tehnik ini harus pula didukung oleh pengetahuan dan penguasaan tentang lensa, aperture, speed dan ISO.
Meskipun demikian, tidak semua foto Landscape dapat dibuat dengan menerapkan tehnik ini. Tehnik hyperfocal membutuhkan obyek foto dengan elemen yang “lengkap.” Artinya, ia membutuhkan obyek foto dengan foregeround dan background.
Contoh foto yang menggunakan tehnik Hyperfocal yang baik. Sumber: Google
Misalnya ketika kita ingin memotret pantai atau lautan, tanpa ada obyek foreground dalam bidikan kita, maka tehnik hyperfocal tidak diperlukan. Untuk foto dengan jenis ini, kita cukup menggunakan aperture yang kecil dan menyempit.
Hyperfocal pada dasarnya tepat untuk digunakan bagi mereka yang menginginkan ketajaman yang menyeluruh mulai dari foreground hingga background.
Contoh foto dengan background yang tajam, tanpa menampilkan fokus pada foreground. Tipe foto seperti ini tidak harus menggunakan tehnik Hyperfocal. Sumber: Google
Selain itu pun, obyek foreground yang berjarak terlalu dekat dengan lensa pun akan menjadi kendala untuk ketajaman yang kita inginkan. Jadi intinya, tehnik hyperfocal itu adalah mencari posisi bidik yang tepat dengan memperhitungkan, Focal Length, Aperture serta jarak kita pada obyek foto terdekat (foreground) untuk mendapatkan ketajaman yang menyeluruh – ultimate sharpness.
Jika demikian, lalu bagaimana cara perhitungan dari tehnik hyperfocal tersebut?
Menghitung Jarak Hyperfocal
“…setting jarak hyperfocal…adalah sebuah istilah mewah yang bermakna setting jarak pada setiap bukaan diafragma – aperture yang menghasilkan depth of field yang bagus.”
How To Use Your Camera, New York Institute of Photography, 2000.
Menghitung jarak Hyperfocal dapat menjadi sangat rumit, tetapi di satu sisi juga dapat menjadi sangat mudah. Pada era fotografi analog dan di awal era digital, cara mengatur jarak Hyperfocal cukup hanya dengan mengaturnya di lensa. Namun pada perkembangan era fotografi digital selanjutnya fitur itu kemudian dihilangkan.
Lensa dengan skala fokus yang terdapat pada badannya. Sumber: Google
Untuk menghitung jarak Hyperfocal itu sendiri kurang lebih ada beberapa cara. Cara yang pertama adalah menggunakan rumus.
