Batik Lasem dengan ciri khasnya yang dikenal sekarang ini tidak lahir dan tumbuh begitu saja. Ia adalah hasil interaksi dan pergaulan budaya yang terbuka.
Warna-warna itu bergumul dengan hebat, tak mau mengalah antara satu dan yang lainnya. Bercampur riuh layaknya sebuah pertempuran hebat. Warna-warna itu seakan tak peduli akan kaidah-kaidah tentang dirinya yang bahkan sudah disepakati sejak berabad-abad lamanya. Mereka terus-menerus sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tak sudi menyerah pada pandangan lain-lain yang berusaha menilainya. Namun justru hal itulah yang membuatnya menjadi unik. Membuatnya menarik perhatian orang-orang yang memandangnya. Kerumitan Ragam corak dan warna yang seolah sedang bertempur menjadi ciri khasnya yang paling dikenali. Itulah harmonisasi khas yang dimiliki batik Lasem. Batik yang bukan hanya sekedar batik, tetapi juga sebagai bukti dari sebuah pergaulan budaya.
Lasem adalah sebuah daerah, atau tepatnya sebuah kecamatan di kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Meskipun statusnya hanya sebagai kecamatan, tetapi peranannya dalam sejarah Nusantara tak boleh dianggap remeh. Sebagai daerah yang terletak di pesisir utara Jawa, Lasem memiliki nilai strategis yang penting. Ia merupakan salah satu pintu gerbang untuk masuk ke pulau Jawa. Terutama bagi para pendatang dari negara-negara tetangga yang notabene banyak terletak di bagian utara Nusantara. Dengan nilai dan letaknya yang strategis itu, tak heran jika sejak rezim Sri Rajasanagara di Majapahit, Lasem dianggap sebagai daerah yang cukup penting. Tak tanggung-tanggung sang Maharaja menempatkan keluarganya sendiri – Sri Rajasaduhitendudewi sebagai Bhre Lasem atau penguasa di sana.

Penempatan Lasem di bawah Majapahit bukannya tanpa alasan, pemerintahan kala itu mungkin saja sudah bisa melihat potensi yang dimiliki oleh Lasem. Walaupun kemudian Majapahit lebih sibuk dengan perang saudara yang terjadi selepas pemerintahan Rajasanagara. Meskipun demikian, Lasem di kemudian hari memang menunjukkan peranan pentingnya.
Daerah Lasem kemudian menjelma menjadi semacam ‘pelabuhan internasional.’ Para pedagang dari Tiongkok berlabuh di Lasem untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju kota-kota seperti Demak dan Kudus. Beberapa diantara pada pendatang tinggal dan menetap di sana. Namun yang menjadi pusat perhatian adalah berlabuhnya salah satu nakhoda dari armada laut Laksamana Cheng Ho di sana. Melabuhnya sang nakhoda, bukanlah sekedar mampir atau rehat belaka. Pada momen itu, terjadi pertukaran dan pergaulan budaya di sana. Menurut Serat Badra Santi yang digubah pada tahun 1479 Masehi, pada masa-masa itulah, Batik Lasem lahir.
Konon, Na Li Ni, istri dari sang nakhoda yang diketahui bernama Bi Nang Un adalah tokoh yang bertanggung jawab atas kelahiran Batik Lasem. Ia mengajarkan seni batik dari dinasti Ming pada masyarakat Lasem ketika itu. Tentu saja batik Lasem tidak lahir begitu saja, ada proses perjalanan dan akulturasi di sana, hingga akhirnya karya-karya dari para pebatik Lasem kelak dikenal sebagai salah satu batik dengan karakter yang kuat di Nusantara ini.

Batik Lasem memang cukup khas dan agak sedikit berbeda dengan batik-batik kuno lainnya. Ia tidak banyak menekankan pada stilasi – penggayaan obyek dan simbolisasi yang sakral. Batik ini lebih banyak bermain dengan kombinasi dan harmonisasi warna. Di mana pada batik Lasem kuno ditemukan dominasi warna-warna khas porselen dari dinasti Ming. Warna merah, biru dan hijau sebagai warna dasar, kerap dikombinasikan secara berani dalam sehelai kain. Tanpa mengindahkan teori-teori warna, kombinasi warna saling bertentangan itu justru menghasilkan harmonisasi yang luar biasa indah dan khas.
Yang paling menarik dari warna-warna batik Lasem adalah warna merahnya. Warna ini seringkali disebut sebagai ‘getih pithik’ – darah ayam, karena merahnya yang menyerupai warna merah darah. Tentu saja warna merahnya tidak benar-benar berasal dari darah sebenarnya. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa warna merah khas Lasem berasal dari akar pohon mengkudu (Pace). Ada lagi yang mengungkapkan bahwa merah darah itu berasal dari air di daerah Lasem yang memiliki kadar keasaman yang berbeda dengan daerah lain. Sehingga ketika proses pencelupan, warna merahnya akan menyerupai warna merah darah. Mana yang benar, tentu saja dibutuhkan penelusuran lebih jauh dan mendalam. Yang pasti dengan keunggulannya itu, daerah Lasem sempat dijadikan tempat untuk pencelupan batik khusus untuk warna merah. Seperti halnya warna Sogan – coklat di Solo dan biru di Pekalongan.
Batik Lasem juga bukan berarti tidak menggunakan motif sama sekali. Dalam perkembangannya, motif-motif seperti pohon hayat dan buketan pun muncul di sana dengan tetap berhias garis batas khas yang bergaya Tiongkok. Namun yang paling menonjol adalah motif Latohan. Motif yang merupakan hasil stilasi – penggayaan dari ganggang latoh yang khas Lasem serta unsur-unsur laut, seperti ikan dan hewan-hewan air lainnya, sebagai identitas pesisir dari Lasem itu sendiri.
